Sebening Putih || 20

81 7 0
                                    

Semenjak Sagi menyelesaikan makananya di kedai pak Ujang berdua saja dengan Anin tadi, sampai sekarang ia belum juga mengeluarkan kata-katanya. Anin tidak berani mengeluarkan suaranya untuk sekedar bertanya karena ia sediri tidak munafik untuk menyadari kalau situasi canggung tadi terjadi karena dirinya. Harusnya Anin tidak usah mengiyakan ajakan dari Sagi. Anin hanya memperburuk keadaan.

Kini Sagi sedang mengantarkan Anin pulang karena Anin berkata ingin pulang. Tadinya Anin tidak ingin pulang dengan Sagi, tetapi karena tangannya ditarik tiba-tiba oleh Sagi, Anin jadi tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi-lagi Anin hanya bisa merutuki dirinya sendiri karena membawa beban untuk Sagi.

"Lo ga salah Nin. Jangan salahkan diri lo."

Anin mengangkat kepalanya untuk menatap Sagi yang ada di sampingnya. Laki-laki itu tidak memandangnya, hanya lurus menatap jalanan dengan fokus. Tidak lama mobil berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah. Sagi menghela napas, lalu menoleh kepada Anin.

"Ini semua karena gue kok. Lo ga usah sedih gitu."

Anin menggigit bibirnya. Ia merasa tidak yakin dengan ucapan Sagi karena sepertinya Sagi mengatakan semua itu hanya untuk menghibur dirinya. Ternyata akan sesulit ini untuk diterima ke dalam kehidupan Sagi. Terlebih karena ada perempuan itu, pikir Anin.

"Mereka itu ga suka gue ya?"

Sagi menoleh, ia terdiam.

"Dari awal gue datang ke rumah itu, gue udah ngerti kalau keberadaan gue ga diinginkan di sana."

"Itu cuma perasaan lo aja Anin."

"Gue ga se-muna itu, Kak."

Sagi menghela napas. "Rumah itu rumah terpenting buat gue sama temen-temen gue. Kita bikin aturan kalau gaada yang boleh bawa orang asing ke rumah itu."

"Terus kenapa lo bawa gue ke sana?" tanya Anin tidak mengerti.

"Gue punya alasan sendiri. Yang terpenting semuanya salah gue. Lo ga salah apa-apa." Anin terdiam, ia menunduk merasa sedikit kecewa karena Sagi tidak mau terbuka dengan dirinya. Sagi menghela napas, "Lagian, Hanan juga bawa orang asing. Itu si Reza itu."

Anin tersenyum kecut. Orang asing.

"Tapi tetep aja, gue buat lo bertengkar sama teman-teman lo. Dari ajakan lo tadi gue jadi ngerti temen-temen lo ga senang dengan kehadiran gue. Karena gue orang asing buat mereka."

Sagi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia kehabisan kalimat karena ia sendiri juga bingung apa kata yang tepat agar Anin tidak merasa sedih seperti ini. Ini salah Sagi yang sudah membawa-bawa Anin ke dalam masalahnya. Anin harusnya tidak sampai dibenci seperti ini karena ulahnya.

Akhirnya lampu lalu lintas itu berubah menjadi hijau, Sagi pun perlahan menjalankan mobilnya agar cepat sampai ke rumah perempuan itu. Diam-diam Sagi melirik ke Anin yang sekarang masih berwajah sedih, tapi bedanya ia hanya diam menatap jendela. Sagi mungkin memang merasa bersalah, tapi sayangnya Sagi sama sekali tidak ada mood untuk membuat perempuan itu merasa baik-baik saja, masalahnya Sagi juga merasa sama murungnya seperti Anin. Bukannya malah menghibur, yang ada hubungannya dengan Anin akan semakin canggung dan suram.

Tidak lama akhirnya mobil Sagi berhenti di sebuah rumah sederhana milik Anin. Sagi menyadarkan Anin ketika Sagi menyadari kalau perempuan itu daritadi sedang termenung. Anin pun tersadar dan tersenyum kecil kepada Sagi sebagai respon.

"Lo mau mampir dulu, Kak?" tanya Anin sebelum ia turun.

"Ga usah, gue juga mau langsung pulang."

Anin mengangguk paham. Anin hendak membuka pintu mobil, tapi gerakannya terhenti ketika melihat mamanya keluar dari rumah bersama papanya sambil menenteng sebuah koper yang lumayan besar. Ah benar, Anin baru ingat kalau mama papanya akan melakukan perjalanan bisnis.

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang