Sebening Putih || 35

76 7 0
                                    

Setelah lebih satu minggu tidak bersekolah, akhirnya di hari ke sembilan Putih kembali. Dengan gaya khas biasa perempuan itu, Putih dengan santai berjalan di lorong sekolah. Rambut pendeknya, dengan sengaja ia acak-acakkan, karena pikirnya pasti akan terlihat sangat keren. Ya, kesan pertama yang ingin ia tunjukkan setelah lama tidak bersekolah adalah keren.

Senyuman licik yang sudah seminggu lebih tidak terlihat, akhirnya kembali lagi. Disaat ia melewati segerombolan laki-laki yang sedang memandangnya, dengan sengaja Putih mengibaskan rambut pendeknya dengan mempesona sampai rasanya tatapan anak laki-laki itu sulit terlepas dari perempuan itu. Putih adalah perempuan yang paling pintar dalam menunjukkan pesonanya seolah Putih sangat sadar dengan kelebihan apa yang dia punya.

"Put, lo kemana aja?" Seorang laki-laki menghadang perempuan itu. Seperti biasa dan dulu-dulunya, Putih akan merespon dengan menaikkan sebelah alisnya terlebih dahulu, kemudian memandang lawan bicaranya dari atas hingga bawah. Putih sedang menilai dengan siapa ia bicara.

"Lo siapa?" tanya Putih dengan santai.

"Gue mantan lo! Devan."

Devan? Putih menjentikkan jarinya saat tahu siapa, "Ah, iya. Pasti Devan yang itu."

Putih kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling yang tidak disangka Putih sedang menaruh perhatian kepada dirinya dengan Devan. Sudah lama sekali rasanya Putih tidak menjadi pusat perhatian begini. Rasanya sebagian dirinya yang hilang seolah kembali. Rasanya sangat fresh!

"Kenapa Devan? Lo tanya apa?" tanya Putih sambil tersenyum.

Devan menggeleng, "Gajadi. Lo jadi tambah cantik ya?"

"Cantik?" Putih terkekeh pelan. "Bukan cantik, tapi keren. Gue itu keren."

"Iya, lo keren. Balikan yuk?"

Putih terbahak. Ia menyuruh Devan mendekatkan telinganya ke mulut Putih. Karena Devan yang sedikit lebih tinggi, terpaksa Putih jadi harus sedikit menjinjit. Tapi tidak apa-apa, dengan santai Putih berbisik ke telinga Devan, "Gue gak mau. Lo tau aturannya. Lagipula lo itu pecundang."

Devan menatap Putih tidak percaya. Namun yang ditatap tentu saja tidak peduli. "Gue masuk kelas ya? Duluan ya, Ganteng."

Putih sudah kembali.

***

"Gue gak tau kenapa, gue ngerasa lemah banget deh, Za," curhat Putih tiba-tiba, Putih sengaja menghampiri Reza yang sedang sibuk mengurusi kebunnya di sore hari ini. Putih melirik kerjaan Reza, lalu tersenyum kecil karena kemampuan Reza yang sangat telaten. "Lo mau jadi tukang kebun gue ga, Za? Gue gaji deh kali ini."

"Boleh—eh lo pinter banget ya ngalihin pembicaraan."

"Masa sih?"

"Iya."

Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia duduk di teras rumahnya yang satu meter lebih tinggi dari tanah kebunnya. Putih pun membungkuk, lalu mengambil posisi duduk di teras hingga membuat kakinya bergelantungan di udara. Kali ini Putih memperhatikan pekerjaan Reza sambil menopang dagunya.

Rasa lelah akhirnya datang juga di tengah-tengah kegiatan, Reza mengusap keringatnya yang lumayan deras bercucuran. Ia berbalik menatap Putih, berjalan mendekati perempuan itu untuk ikutan duduk di sebelahnya. "Tukang kebun lo seret nih."

"Senuu! Reza mau minum katanya. Tolong ambilin dong Senuu!"

Reza terkekeh pelan. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan topik yang sempat Putih alihkan tadi. "Gimana tadi Put? Lo ngerasa lemah gimana?"

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang