Sebening Putih || 21

78 4 2
                                    

"Put, bapak lo ga berhenti-henti nelfonin gue nyuruh lo pulang."

Putih memutar bola matanya dengan malas. "Yaudah lah Nan, lo ga usah jawab telpon bapak. Itu bapak-bapak ribet banget dah."

"Iye bapak lo ribet banget, makanya mending lo pulang aja daripada tambah ribet."

Putih menghela napas. Bapak selalu saja mengganggu hidupnya yang sudah lumayan damai ini. Kalau pulang, Putih malas harus bertemu dengan nenek lampir dan anaknya yang titisan setan itu. Bagaimana gaya mereka yang sok berkuasa di belakang Bapak tapi kalau Putih sudah melawan mereka secepat kilat berubah menjadi tikus kecil yang ketakutan. Putih malas harus bertemu orang-orang bodoh seperti itu. Memperbanyak beban nya saja dan sangat memancing emosi.

"Pulang aja bentar napa sih? Cuma satu bulan kali Put. Lagian dua orang itu juga ga berani ngapa-ngapain kan sama lo?"

Putih menghela napas. Hanan ini cerewet sekali. "Gue pertimbangkan deh ya, gue tutup."

Putih langsung mematikan teleponnya. Pagi-pagi sudah membuat keributan yang sangat tidak berguna, membuat Putih kehilangan mood saja. Hari ini pak Den sudah kembali dari cutinya, jadi mulai hari ini Putih tidak perlu repot-repot membawa mobil. Di luar Pak Den sudah menunggu seperti dulu-dulunya sambil merokok pagi.

"Pak Den, merokok itu buat orang bodoh."

Pak Den tersenyum kikuk. Ia lupa kalau Putih tidak suka melihat dirinya yang tua masih saja merokok. Tidak baik untuk paru-paru katanya. Putihpun masuk ke dalam mobil diikuti dengan pak Den. Dengan telaten, pak Den mengeluarkan mobil dan membawa Putih menuju ke sekolahnya.

Kembali ke rumah Bapak? Putih akan pikirkan. Namun ia harus meminta maaf kepada Bapak kalau ia tidak akan kembali ke rumah itu dengan aturannya. Putih tersenyum miring.

Lama belajar, akhirnya bel istirahat berbunyi. Seperti biasa Putih berjalan keluar sendirian menuju kantin yang tentunya untuk makan nasi goreng pak Ujang yang terasa sangat nikmat di lidahnya itu. Di sekolah Putih tidak memiliki teman selain Sagi karena tidak ada yang mau mendekat kepadanya. Alasannya Putih terlalu barbar dan terlalu seenaknya. Bagi anak kelasnya, Putih bukan tipe teman yang baik.

"Pak Ujang, nasi goreng biasa," ujar Putih kepada pak Ujang, lalu segera mengambil kursi kosong agar tidak keburu diambil oleh siswa yang lain. Putih lagi-lagi memainkan hpnya untuk menghilangkan kebosanannya. Saat Putih hendak menuangkan air dengan mata yang masih berfokus kepada hp nya, tangan Putih langsung dihentikan oleh seseorang.

"Put, ntar tumpah."

Putih mendongak, menemukan Sagi di sana. Putih tersenyum miring meremehkan, lalu kembali berfokus kepada hpnya.

"Ngapain lo di sini? Ga sama gebetan?" sindir Putih tanpa memandang Sagi.

Sagi menghela napas. "Iye dah gue salah. Sori ya?"

Pak Ujang datang mengantarkan pesanan milik Putih. Pak Ujang melirik Sagi, lalu ia mengedipkan matanya kepada Sagi sebagai sapaan. Sagi tersenyum geli melihatnya.

"Gue ntar mau ke tempat bapak," ucap Putih akhirnya setelah cukup lama diam.

Sagi menaikkan sebelah alisnya, lalu tersenyum lebar. "Gitu dong, ga ditelfonin mulu gue sama bapak lo. Lo ngelakuin ini biar gue ga terganggu ya Put? Secara kan bapak nelfonin gue mulu—"

"Eh, bukan lo aja yang ditelfon bapak. Hanan, Kaka, Rabka, semuanya ditelfon bapak. Ribet banget dah tua Bangka."

"Bapak lo itu!" seru Sagi mengingatkan Putih.

Putih terkekeh.

Seketika Sagi memandang Putih dengan pandangan bersalah. "Gue nyebelin banget ya kemaren, Put?"

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang