Sebening Putih || 34

78 6 0
                                    

Putih berjalan dalam sebuah ruangan yang berwarna putih, sama seperti namanya. Gaunnya yang juga berwarna putih melambai dengan lembut ketika berjalan-jalan di tempat yang menurut Putih adalah ruang hampa. Putih hanya seorang diri di ruangan itu, anehnya ia tidak merasa takut sama sekali.

Tidak jauh dari posisi berdirinya, terdapat sebuah meja rias yang juga berwarna putih. Ia berjalan ke meja itu karena merasa penasaran. Benda kedua yang ada di ruang ini selain dirinya. Putih melihat bayangannya sendiri di depan cermin, tangannya dengan pelan menyentuh wajahnya, lalu berakhir dengan memandang tangannya sendiri. Ia baru sadar kalau ia bisa sampai sepucat ini.

Tiba-tiba rasanya pundaknya dicolek oleh sebuah jari, Putih akui dia sedikit terperajat karena masih mengira hanya dirinya satu-satunya yang merupakan makhluk hidup di dunia aneh ini. Ketika Putih menoleh, matanya langsung menyipit silau. Sangat terang sampai rasanya matanya tak sanggup untuk terbuka. Di saat seperti itu, samar-samar Putih mendengar suara. Lembut sekali smapai rasanya Putih bisa tertidur.

"Bangun," katanya.

"Apa?" tanya Putih memastikan.

"Bangun!"

Putih langsung membuka matanya lebar ketika dirasa pasokan udaranya tiba-tiba menipis. Ketika matanya kembali terbuka, ia langsung bertatapan dengan televisi yang menggantung di dinding. Televisi itu mati tidak menayangkan siaran. Detak jantung Putih sangat cepat, sepertinya karena panik akan masalah udara yang sulit dihirupnya tadi.

Putih mengedarkan pandangannya, keningnya berkerut berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan. Tatapannya pun kemudian jatuh kepada pakaian yang dipakainya, lalu bergantian ke arah tangannya yang ditusuk oleh sebuah jarum infus. Gue di rumah sakit? Gue kenapa?

Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Pandangannya berputar seolah menyuruh Putih untuk kembali ke posisi tidur. Putih sedikit mengerang ketika pusingnya masih saja bertahan. Lalu tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka menampakkan seorang suster yang kelihatan syok saat melihat Putih. Selanjutnya yang didengar oleh Putih adalah suara teriakan suster yang dengan lantang memanggil dokter berkali-kali.

"Bagaimana rasanya?" tanya seorang dokter yang lima menit kemudian tiba.

"Sedikit pusing," jawab Putih dengan datar.

"Itu saja?"

Putih mengangguk.

"Keadaan kamu sudah bagus, tapi ya tetap harus istirahat dulu agak beberapa hari. Tidak apa-apa ya?"

Putih pun hanya mengiyakan dalam hati. Kalau dia bilang tidak sekalipun, ia juga tidak akan diperbolehkan pulang kan?

"Keluarga atau walinya dimana suster?"

"Bapak Wanggaraksa sudah kami hubungi, dok."

Dokter mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian pamit kepada Putih untuk memeriksa pasien lainnya. Suster masih berada di ruangan itu untuk mencatat keadaan Putih yang sekiranya akan dijadikan laporan untuk rumah sakit. Sementara itu Putih menyandarkan punggungnya, ia sedikit menghela napas, lalu menatap tangannya sendiri.

Lucu sekali, bahkan di saat sakit seperti ini Putih sendirian. Ia tersenyum kecut.

"Saya pergi dulu ya, Putih."

Ya, pergi saja sana. Biarkan gue sendiri.

***

Di hari minggu yang menyenangkan ini, Reza tetap menyempatkan diri ke rumah Putih untuk hanya sekedar menyirami kebun perempuan itu. Walaupun perempuan itu tidak ada, ia tetap harus memenuhi janjinya.

Senu pun keluar sudah terbiasa selama lima hari ini kedatangan Reza ke rumah. Lama-lama Reza jadi seperti tukang kebun pribadi Putih. Awalnya Senu sedikit prihatin, tetapi lama-lama Senu sudah merasa biasa saja karena Reza sepertinya bahagia mengerjakan tugasnya.

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang