• IGATT -11 •

2.4K 396 15
                                    

Happy reading!

••••

Alfa menatap manik mata Lalisa yang memancarkan keterkejutan dan rasa takut di saat yang bersamaan. Cowok itu tersenyum tipis. "Apa kabar, Panpriya?"

Masih sama. Seluruh yang ada ditubuh Alfa masih sama secara objektif. Senyumnya, suaranya, dan caranya memanggil dirinya dengan sebutan Panpriya, adalah hal yang dulu sangat disukai Lalisa. Ia tak bisa berbohong kalau Ia ingin sekali memeluk sosok ini.

"Ngapain lo kesini? Setelah hilang empat tahun?" Suara Lalisa nyaris berbisik diakhir kalimat.

"Ngapain? Ya ngunjungin sekolah gue lah," balas Alfa.

Lalisa melirik tajam. "Gue bakal percaya gitu?"

Alfa membuang wajahnya kembali kearah pepohonan. Benar, Lalisa telah berubah. Entah karena apa.

"Lo berubah," ucapnya kemudian.

Lalisa tersenyum kecut menyembunyikan setitik air mata disudut matanya. Ia benar-benar ingin menangis sambil memeluk Alfa, sosok yang pernah amat berharga dalam hidupnya. Ia sangat-sangat merindukannya.

"Gue pikir lo udah ngaca selama empat tahun," tukas Lalisa.

Tatapan Alfa mendadak kosong. "Memang. Dan gue kembali karena ada yang perlu gue luruskan. Sama lo."

"Terlambat," Lalisa berucap dingin.

Alfa menunduk sendu. "Gue tahu, gue salah tapi itu bukan kesalahan gue, disana ada campur tanga-"

"Pergi."

Kalimat Alfa terputus oleh satu kata yang berhasil Lalisa keluarkan meski sebuah kaca tengah bertengger di netra gadis itu. "Jangan pernah muncul lagi dengan alasan apapun itu."

Cowok itu tersenyum kecut. Gue juga sakit Lis, sakit.

Tangan Alfa yang hendak menyentuh pipi Lalisa ditepis oleh seseorang. Orang itu lantas menarik Lalisa kebelakang punggungnya dengan cepat.

"Pahlawan kesiangan, ini bukan urusan lo," sarkas Alfa.

Sedangkan Benua, cowok itu tersenyum miring. "Siapa lo buat nangis Lalisa? Pake nyentuh-nyentuh segala?"

Alfa membentuk seringai tajam pada bibirnya sambil memutar bola matanya. "Lalisa is mine, Bung."

"Shut up," Lalisa berseru tajam.

Lalisa kemudian menarik Benua untuk pergi darisana, meninggalkan Alfa dengan Langit senja diangkasa, dan dedaunan pohon mangga yang bergerak oleh angin.

••••

Lalisa menyeka mata sembabnya dengan tisue yang diberikan Benua kepadanya. Suasana senja rooftop yang memperlihatkan cahaya lampu dari gedung pencakar langit kota Jakarta dan semburat warna orange angkasa membuat hati Lalisa menjadi sedikit tenang.

Cewek itu memeluk lututnya sendiri, menenggelamkan wajahnya di sana untuk menutupi rasa pusing yang menjalari kepalanya sekarang akibat terlalu lama menangis. Sesuatu yang berbau dengan Alfa masih memiliki dampak pada dirinya, meski itu sudah empat tahun berlalu.

Alfa pernah menjadi terlampau istimewa dalam hidupnya.

Setidaknya itulah hal yang langsung melintas di kepalanya saat ini. Sedangkan Benua, ia hanya diam memandangi burung-burung yang terbang rendah di langit senja. Rasanya melihat Lalisa menangis seperti membuat pikirannya kacau, ia tiba-tiba tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Lalis, apa perlu gue hubungin temen-temen lo? Biar lo bisa cerita sama mereka," ucap Benua dengan penuh perhatian.

Lalisa sedikit menggeser kepalanya, hingga matanya mampu melihat sekitar, lalu menggeleng.

"Nggak perlu," ucapnya.

Benua meringis mendengar suara rendah Lalisa yang terdengar ngilu ditelinga.

"Yaudah, kalau lo juga nggak mau cerita sama gue," Benua mengangkat bahu. "Setidaknya itu saran yang bisa gue kasih ke lo sekarang."

"Alfa itu mantan gue."

Benua menoleh pada Lalisa yang juga sedang menatapnya.

"Empat tahun lalu, gue pernah berhadapan sama pertanyaan, "lisa, kamu mau ikut siapa?" dan di saat yang bersamaan, dia pergi," Lalisa mengusap air mata yang kembali menetes di pipinya.

"He goes into my life, becomes spesial, he leaves without saying goodbye. It hurts me," sambungnya.

"Dan selang berapa lama, gue denger kabar kalau Papa gue nikah lagi sama perempuan lain pasca pisah sama mama, dan itu ternyata Ibunya Alfa. Ayah Alfa sendiri meninggal waktu dia masih kecil."

"Ya. Alfa pacaran sama gue selama dua tahun cuman untuk-" Lalisa tercekat dalam ucapannya sendiri. "Gue baru sadar pas gue udah kehilangan kakak dan papa."

Benua menarik napa, menetralisir detak jantungnya yang abnormal sebab terkejut. "Lo punya kakak?"

"Punya, tapi kita milih jalan kita masing-masing," Lalisa kembali meluruh.

Entahlah, setidaknya meskipun ia menangis hingga matanya sakit, rasanya seperti ada satu beban di pundaknya yang hilang, sekaligus takut. Bagaimana jika Benua menjauhinya sebab merasa hidup Lalisa begitu drama? Namun, Benua justru merengkuh sosok Lalisa yang duduk di sampingnya, mengantarkan kehangatan.

Lalisa tidak menolak saat Benua merengkuhnya. Cowok itu menunduk, pandangannya menatap lantai. Ternyata ada kehidupan semacam itu didunia ini, dan itu Justru terjadi pada Lalisa, perempuan yang baru saja mengisi kekosongan hatinya, perempuan yang baru saja ia anggap spesial di hidupnya.

Benua meletakkan dagunya kepuncak kepala Lalisa yang mulai kembali menangis di rengkuhannya, bersamaan dengan air matanya sendiri yang mulai jatuh tanpa sepengetahuan siapapun disana.

Kali ini Benua sadar, kalau mereka berdua memiliki luka dimasa lalu yang sama-sama menyiksa diri sendiri. Bahwa mereka memiliki luka mereka sendiri.

Kali ini, Benua mengaku bahwa dirinya juga lelah, di permainkan oleh dunia seperti ini.

apa ini miskah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

apa ini miskah.

Ice Girl And The TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang