"perkenalkan nama saya Jingga Brovi, pindahan dari Jakarta."
"Oke Jingga akan bergabung dengan kita di kelas ini, silahkan duduk di sebelah Marquel, Marquel angkat tangan."
Jingga melihat gadis yang mengangkat tangannya, gadis itu tersenyum kepada Jingga membuat lesung pipi di wajah gadis itu terbentuk jelas.
Jingga berjalan dengan wajah datar dan tidak membalas senyuman Marquel, ia duduk di sebelah Marquel lalu mengeluarkan buku kosong dari dalam tas.
Saat Jingga akan meletakkan tasnya ke atas kursi, sebuah tangan terulur di hadapannya, Jingga menoleh ke siempunya tangan.
"Marquel."
Jingga tidak membalas uluran tangan tersebut, ia menatap lurus ke arah guru yang mengajar.
Dan Marquel? Gadis itu geram dan malu, sikap manisnya tak disambut baik oleh Jingga, Jingga terlalu dingin dan Marquel berjanji tidak akan mau berdekatan dengan gadis ini.
Jingga sesekali menuliskan pelajaran yang perlu, menyalinnya di sebuah kertas notes milik Samudra—mantan kekasihnya—.
Ponsel Jingga berdering, ia mengeluarkannya dan menerima sebuah pesan dari seorang gadis yang mampu membuat wajah datarnya berubah tersenyum seketika, dan itu tak luput dari pengamatan Raquel.
Ata : semangat sekolahnya kak Jingga, cepetan tamat, aku nunggu Kak Jingga di Jakarta.
Jingga mendengus pelan, dibukanya halaman buku tulis paling belakang, menuliskan beberapa kata yang terlintas di otak nya.
Bahkan, sekarang aku tidak memiliki semangat untuk beraktivitas. Aku rindu untuk bertemu tanah merah yang menutup tubuhmu, aku rindu nissan yang bertuliskan namamu, Samudra
***
Dengan wajah sebal, Marquel memasuki kelas XII IPA 3, tempat teman-temannya, ia duduk di atas meja seorang cowok yang notebenenya adalah sepupunya, sepupu yang membuatnya melejit dan di kenal oleh banyak orang.
"Kenapa wajah lo kusut amat kayak aspal gitu?" Tanya Alan, sahabat dari sepupunya yang diam-diam menyukainya.
Marquel mendengus, "itu anak baru di kelas gue, bikin kesel tahu nggak! Masak gue di cuekin? Liat HP langsung senyam-senyum. Kesal gue."
Andovi—sepupu Marquel—mendelik, cowok itu tersenyum mendekati Marquel lalu mengusap lembut rambut adik sepupunya itu. "Sabar, temen lo bukan cuma dia 'kan? Mau ketemu gue sama dia, beraninya nyuekin adek gue."
Marquel tersenyum, wajahnya langsung bahagia karena dibela oleh Andovi, sepupu yang selalu membelanya, bahkan saat ia di bully oleh primadona sekolah yaitu Jolly, Andovi paling depan membela Marquel, dan saat itulah terbongkar jika Marquel adalah adik dari Andovi, cowok nakal yang sering bikin orang bahagia.
"Beneran?" Tanya Marquel memastikan.
Andovi tambah melebarkan senyumannya, cowok itu berjalan keluar kelas yang diikuti Raquel dan Alan.
Marquel pikir Andovi hanya bercanda, namun langkah cowok itu memang berjalan ke kelasnya, padahal Marquel kira cowok itu akan ke kantin belakang untuk ngerokok atau makan siang.
Andovi menatap cewek dengan headset di telinga dan ponsel berlogo apel di atas meja, gadis itu sedang membaca novel karangan Tere Liye.
"Sorry, Nona. Anak baru?"
Jingga yang terganggu membuka headsetnya, menatap Andovi dingin lalu kembali memasang headsetnya berpikir Andovi tidak akan mau berbicara dengannya.
Saat Jingga mulai membaca novelnya kembali, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Andovi, jemarinya bersentuhan dengan tangan besar cowok itu.
"Kenalin gue Andovi Semesta! Lo boleh dingin ke penjuru sekolah, tapi kalau sama gue, jangan,"
Jingga tidak melanjutkan niat awalnya untuk menampar Andovi, ia juga tidak melepaskan tangannya yang di genggam Andovi, gadis itu berdiri, menatap wajah Andovi lama, menelisik setiap senti wajah Andovi yang menyerupai artis Hollywood.
"Semesta?"
Andovi mengangguk, ia bahkan bergidik ngeri saat mendengar suara indah yang keluar dari mulut Jingga.
Bahkan, murid di kelas XII IPA 2 semua ternganga, sudah 4 jam mereka bersama Jingga hari ini, baru kali ini Jingga mengeluarkan suara setelah memperkenalkan diri.
"Jingga," balas Jingga, lalu ia melepaskan tangannya dari tangan Andovi, ia menutup matanya dan menggeleng pelan.
"Jingga? Nama lo bagus, bagus banget. Kapan-kapan kita cari nama untuk Semesta junior yok?" Andovi harap Jingga akan tersenyum lalu mengangguk seperti gadis-gadis sebelumnya yang sering Andovi gombali.
Jingga berbeda, gadis itu kembali datar dan duduk di kursinya, ia memasang headset kembali dan menganggap tidak ada keberadaan Andovi.
Saat itulah Andovi merasakan apa yang dirasakan Marquel, kesal, tapi penasaran. Penasaran dengan dingin dan datarnya ekspresi Jingga.
Andovi berjalan keluar kelas seolah tidak terjadi apa-apa, dirangkulnya Marquel di tangan kiri dan Alan di tangan kanan.
"Kita makan di kantin, gue traktir."
Dan saat itulah keduanya lupa dunia dan berteriak senang.
***
Baca sampai episode end ya, bakal di kuak kenapa Jingga pindah dari Jakarta, akan saya jabarkan kebahagiaan Jingga yang perlahan mendekat.
Akan saya jelaskan kenapa Jingga bisa dingin dan menjadi introver gitu.
Klik vote menambah semangat saya.
Makasih.
Jangan lupa baca cerita saya yang lain, tetap di akun yang sama.
❄The cupu is my taste
❄My cawa-cawa
❄My beloved rival
❄Toping your heart
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga dan Semesta (END)
Teen FictionTAMAT sequel by Jingga di Samudra Jingga memilih pindah sekolah setelah kepeninggalan Samudra, ia memilih Bukittinggi sebagai tempat tujuannya. Disana, Jingga bersama neneknya. perjuangan sekolah Jingga begitu berat, Jingga yang pendiam dianggap mur...