Koment dongggggggg
***
Jingga sudah kenyang, ia kini duduk di atas ranjang, sedangkan Marquel tiduran sambil membaca novel best seller yang baru dibelinya. Jingga mendengus, memperhatikan Andovi dan Alan yang sedang bermain PS, ia jadi kesal, hanya ialah yang tidak memiliki kegiatan.
"Quel? Perasaan baru jam sebelas kurang deh, kok udah pulang?" Akhirnya Jingga membuka percakapan.
Marquel menutup novelnya, "oh iya, lupa," gadis itu menepuk jidatnya, "Alan kampret, lo lupa apa tujuan awal kita ke rumah Andovi?"
Alan yang sedang asyik main PS tidak menoleh, "nanti, gue lagi asyik nih."
Marquel mendumel, heran dengan sikap Alan yang tidak pernah berubah jika telah bertemu dengan game, tidak habis-habisnya, padahal di sekolah telah main game juga.
"Emang ada apa sih?" Tanya Jingga yang penasaran, jika Marquel dan Alan mau-maunya bolos berarti emang ada yang penting, karena Marquel pernah bilang ke Jingga ia tidak suka membolos.
"Ternyata, Gilly itu bukan cuma sakit jiwa, tapi dia juga nggak percama sama yang namanya Tuhan."
Jingga melotot, "atheis?"
Marquel mengangguk pelan, "gue juga baru tahu tadi sih dari temen sekelas, gegara itu nilai agama tuh cewek jeblok semua."
Apakah tidak percaya akan adanya Tuhan yang membuat Gilly menjadi berani membunuh orang? Jingga pernah mendengar jika seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan akan nekad melakukan apa saja, termasuk susila dan pelanggaran HAM lainnya.
Ting tung ting tung.
Jingga merogoh kantongnya, mengeluarkan benda pipih persegi empat itu dan langsung menjawab.
"Iya, Ta. Kenapa?"
"Kakak dimana?"
"Di Bukittinggi, kenapa deh?"
"Enggak, Ata lagi di rumah kak Jingga yang di Bukittinggi nih."
"Apa?!! Beneran? Aduh oke oke, gue jalan pulang ya, lo tunggu di rumah."
"Iya."
Tut Tut Tut.
"Semesta, gue pulang duluan ya, kan udah ada Marquel sama Alan."
Andovi langsung berdiri, cowok itu melepaskan stik PS nya lalu menyambar kunci mobilnya yang berada di atas meja. "Biar gue anter."
"Nggak usah, lo kan masih sakit."
"Bawel."
Jingga terbelalak mendengar penuturan Andovi tersebut, "apa?!"
"Bawel, bawel, bawel." Ulang Andovi sembari terkekeh melihat wajah hampir mengamuk Jingga. Cowok itu mengelus kepala Jingga dan tersenyum senang, "lo tambah cantik kalau ngambek, ayo gue anter."
"Kemana lo, Ga?" Tanya Marquel yang sedang membaca buku.
"Itu, di rumah ada tamu."
"Namanya siapa?"
Jingga memutar bola mata malas, ia ingin cepat-cepat bertemu Ata, ia sangat merindukan gadis kecil itu, "Ata, udah ah, gue mau balik dulu, cepetan Semesta."
"Tunggu bentar, gue mau ikut dong, mau ketemu juga sama adiknya Samudra."
"Samudra?" Beo Andovi.
Jingga segera menutup mulut Marquel yang hendak bercerita, "gue percayain ke lo dan jangan cerita-cerita sama orang lain." Bisik Jingga di telinga Marquel.
"Ampun, Ga. Gue ikut ya?" Ujar Marquel setelah Jingga melepaskan mulutnya.
Jingga mengangguk saja, Marquel segera mengambil tasnya dan mengikuti Andovi dan Jingga, sedangkan Alan masih fokus dengan gamenya.
***
Sebelum sampai di rumah, Jingga membelikan terlebih dahulu makanan untuk Ata, ia tahu gadis yang sudah dianggap adiknya itu pasti belum makan.
"Jingga cepetan!"
Jingga menoleh ke siempunya suara, Marquel yang tadinya malas keluar mobil kini meneriaki Jingga histeris, membuat Jingga bingung ada apa dengan gadis itu.
Jingga tidak mengacuhkan Marquel, ia tetap menunggu abang penjual bakso yang sedang mengambilkan pesanannya.
Drukk!!
Jingga yang terkejut langsung menoleh ke arah samping, dimana seorang Andovi memegangi pot bunga besar yang sepertinya sengaja dijatuhkan dari lantai dua.
Andovi meletakkan pot bunga di bawah, lalu mendekati Jingga yang shock, "lo nggak papa?"
Semua pembeli menatap ke arah Jingga dan Andovi, mereka juga sama terkejutnya dengan Jingga, karena pot itu terbuat dari semen, j8ka tadi terkena kepala Jingga palingan Jingga akan mati di tempat.
Jingga menggeleng, "refleks lo keren."
Jingga tidak sadar ucapannya membuat pembeli disana berpikiran mereka pacaran dan aksi heroik tadi adalah salah satu dari keromantisan.
Andovi tersenyym, ia mengelus pucuk kepala Jingga, "ucapan lo itu bikin orang gak fokus." Bisik Andovi.
Jingga mengedarkan penglihatannya, semua yang berada disana menatapnya dan Andovi sambil berbisik dan terkekeh, Jingga memerah dibuatnya.
"Ini neng, tiga puluh ribu."
"Ini."
"Semesta? Duit gue ada kali."
"Gue punya uang pas, ayok." Andovi menarik tangan Jingga ke parkiran, dan tangan sebelahnya lagi membawa bakso yang dipesan oleh Jingga.
"Lo nggak papa?" Tanya Marquel akhirnya berani keluar dari mobil.
Jingga menggeleng, "nggak papa, lo katanya gamau kenak matahari langsung, kenapa keluar?"
"Terkejut terheran-heran gue lihat pot jatuh tadi."
"Lo lihat siapa orangnya?" Tanya Andovi dengan wajah serius.
"Ke dalam yok, panas banget ini."
Ketiganya masuk ke dalam mobil, Marquel mengibas-ngibaskan tangannya ke udara. "Gue lihat sih tadi, Gilly."
"WHAT?!"
Marquel mengangguk, "dia bahkan senyum ke gue sebelum dia lepasin pot itu."
"Entah kenapa gue yang shock nggak bisa teriak, aneh."
Andovi mendengus pelan, "lo harus bilang ini ke Oma Opa lo, Ga."
Jingga menggeleng, "nggak! Gue nggak mau balik ke Jakarta."
"Biar gue yang bilang ke Oma Opa lo, Ga." Kini Marquel yang ikut membujuk Jingga, bagaimanapun jika Jingga tidak melapor maka Jingga sendiri yang bakalan mati akhirnya.
"Tapi kan lo udah bilang kalau dia itu nggak bisa masuk penjara karena kekayaan orang tuanya, jadi gimana?"
Keduanya mendengus pelan.
***
KLIK TOMBOL BINTANG DI UJUNG KIRI BAWAH, MAKASIH AND SELAMAT MENUNGGU
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga dan Semesta (END)
Teen FictionTAMAT sequel by Jingga di Samudra Jingga memilih pindah sekolah setelah kepeninggalan Samudra, ia memilih Bukittinggi sebagai tempat tujuannya. Disana, Jingga bersama neneknya. perjuangan sekolah Jingga begitu berat, Jingga yang pendiam dianggap mur...