Sedari tadi Jingga hanya duduk di atas sofa depan televisi, gadis itu memperhatikan Gerry yang tengah membuka postingan lowongan kerja di internet. Sedari tadi Gerry terlihat sibuk, entah itu menerima telepon dari teman-temannya di Jakarta yang terkejut akan keputusan mendadak Gerry ataupun telepon dari Queena yang akhirnya mau berbaikan dengan abang Jingga itu.
Jingga benar-benar merasa bersalah, karena keegoisannya ingin menetap di Bukittinggi, Gerry yang mendapatkan imbasnya. Sebenarnya Jingga tidak mau Gerry terlalu repot seperti ini, namun Jingga sedang tidak mau mengundang amukan Gerry, jadi ia hanya diam menatap televisi meskipun kadang melihat apa yang dikerjakan Gerry.
Gerry berdiri, ia mendekati Jingga lalu mengusap lembut puncak kepala Jingga, "lo jangan kemana-mana, tunggu gue dirumah."
"Abang mau kemana?"
"Dapet kerjaan, nanti kalo Oma sama Opa pulang bilangin gue interview."
Jingga hanya mengangguk, lalu bel rumah Jingga berbunyi sebelum Gerry melanjutkan langkahnya. "Abang aja yang buka, sambil keluar."
Jingga mengangguk, kini perhatiannya kembali ke televisi, meski kepalanya masih terasa sakit tapi ia tak bisa menetap di dalam kamar itu hanya akan membuatnya bertambah sakit.
"Jingga."
Jingga menoleh, senyumannya mengembang ketika melihat gadis manis yang telah ia anggap sebagai sahabat itu menampakkan dirinya.
"Quel? Gue kira lo nggak inget gue lagi."
Marquel mendekat, gadis itu duduk di sebelah Jingga, "maaf, gue memang nggak ke rumah sakit waktu lo mau pulang, tapi waktu lo dirawat gue sering kok ke rumah sakit, lo nya aja lama bangun."
Jingga terkekeh, "besok gue sekolah deh, mana tau ada yang kangen."
"Berharap banget tuh bisa dikangenin, siapa hayoooo, Andovi ya?"
Wajah Jingga memerah, "nggak, eh lo udah makan belom?"ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Nah kalau udah gitu malah dialihin."
"Apaan sih Quel, udah ah!"
"Yah ngambek, hahahaha, sok malu-malu."
"Gue gibeng lo ntar."
Marquel terdiam mendadak, gadis itu menatap Jingga serius, "abang lo udah cerita?"
"Apaan?" Tanya Jingga serius.
"Masalah Mama Meutia sama Tante Viona?"
"Bunda? Kenapa bunda sama tante Meutia?"
"Gue juga nggak tahu banget, mending lo tanya sama abang lo atau orangnya langsung deh."
***
Jingga menunggu Gerry pulang hingga larut malam, jam telah menunjukkan jam sebelas malam namun Gerry belum juga pulang, membuat Jingga cemas.
"Oma buatin teh anget ya?"
Jingga menggeleng, lantas menatap Siti dengan wajah sedih yang dipaksakan tersenyum. "Nggak usah Oma, Oma tidur aja, Jingga mau nungguin Bang Gerry, percuma juga Jingga masuk kamar, mata Jingga nggak bisa merem."
Siti mengangguk prihatin, "yaudah, Oma masuk ke kamar dulu ya, jangan larut tidurnya sayang." Jingga mengangguk seraya tersenyum.
Baru tiga langkah Siti berjalan, pintu terbuka berhunyi diiringi ucapan salam oleh mulut seorang cowok yang Jingga tunggu-tunggu.
Gerry datang tanpa menyalimi tangan Siti, ia berjalan menuju kamarnya dengan wajah murung dan kemeja yang berantakan. Jingga megejarnya, menarik tangan Gerry yang bebas dari tasnya.
"Abang tunggu, ada yang mau gue tanya."
Gerry mendengus, ia tidak berbicara hanya dongakan dan anggukan sebagai isyarat jika Jingga bisa bertanya.
"Bunda sama Tante Meutia kenapa?"
Gerry mendengus lagi, menatap Jingga jengkel, "cuma mau tanya itu?" Ujarnya sedikit keras, Jingga mengangguk ragu untuk menjawab. "Lo nggak tahu gue capek? Gue mau istirahat."
Gerry melanjutkan langkahnya memasuki kamar nya, sedangkan Jingga terdiam dibentak oleh Gerry, Gerry memang terlihat berantakan.
"Udah jangan nangis."
Jingga mengusao air matanya yang tanpa sadar telah meleleh, gadis itu menggeleng, "Jingga nggak apa-apa Oma, ayo kita tidur."
Siti tahu Jingga benar-benar kecewa atas jawaban abangnya tadi, tapi apa yang bisa Siti lakukan, ia hanya bisa menenangkan Jingga dan menasehati Gerry besok pagi.
Jingga berjalan ke kamarnya didampingi Siti disebelah gadis itu dengan perasaan kacau, apa yang terjadi kepada Gerry hingga ia terlihat sangat kacau seperti itu? Kenapa Gerry membentaknya?
"Oma." Panggil Jingga saat telah berada di depan kamarnya, Siti mengangguk sebagai jawaban, "Oma tahu kenapa Bunda sama Tante Meutia?"
Siti tersenyum, wanita yang notabene nya adalah nenek Jingga itu mendorong Jingga masuk ke dalam kamarnya.
"Jingga tidur biar Oma ceritain setahu Oma."
Jingga mengangguk.
"Dulu, Viona itu tinggal di Bukittinggi sama Oma, sama Opa, terus naik kelas dua SMA ngerengek mintak pindah ke Jakarta tempat saudara Oma, Viona bilang kalau di Bukittinggi dia selalu di terror sama cewek yang namanya Meutia, kemarin waktu kamu di rumah sakit Andovi bawa mamanya, dan disaat itu Viona marah-marah dan ngusir Andovi sama mamanya, Oma nggak ngerti kenapa, Oma juga udah pikun masalah masa lalu itu, Oma baru ingat sekarang,
Dulu, waktu Viona ke Jakarta, Meutia nemuin Oma, minta maaf karena dia merasa kepergian Viona adalah salah dia, Meutia ceritain semua sama Oma, Oma udah ngerasa ada yang nggak beres waktu itu, Oma yakin kalau temen Viona yang namanya Juliet itu biang keroknya, tapi Viona terlalu buta dan menganggap Juliet itu anak terlugu sebagai temannya."
Jingga tertegun, "jadi Tante Meutia ikut jenguk Jingga, Oma?"
Siti mengangguk, "hari itu terakhir Oma lihat Andovi, besoknya Marquel datang bilang kalau Andovi sakit."
"Semesta sakit?" Beo Jingga heran.
Siti kembali mengangguk, "sebenernya Opa Motu kenal dekat sama Andovi, Andovi pernah kerja di kafe Opa, kata Opa Andovi itu punya gangguan jiwa."
"Maksudnya?"
Siti melihat arah lain, "Andovi nggak bisa lihat pisau dapur, setiap lihat pisau dapur dia bakalan histeris, karena itu Opa memilih untuk mengeluarkan Andovi."
Jingga jadi teringat, saat ia ke rumah Andovi waktu itu, ia ke dapur setelah membereskan kamar Andovi, di dapur tidak satupun Jingga melihat pisau dapur, hanya pisau cutter yang terletak di lemari bagian atas.
Saat itu Jingga bertemu dengan seorang pembantu rumah tangga Andovi, ia bertanya namun pembantu rumah tangga itu diam saja tidak mau menjawab.
"Pantesan di rumah Semesta nggak ada pisau dapur satupun, jadi gitu ya Oma?"
Siti mengelus rambut Jingga, "Tante Sandra temennya mama kamu itu psikiater, dia yang menjadi psikiaternya Andovi selama ini."
"Tante Sandra?"
"Nanti Oma kenalin, kamu mungkin nggak ngeh kalau sebenernya waktu kamu baru pulang dari rumah sakit waktu itu Viona datang sama Sandra, sekarang Jingga tidur ya? Oma tunggu sampai Jingga tidur."
Jingga mengangguk, ia berjalan ke atas tempat tidur lalu memakai selimutnya, lalu kepalanya dielus-elus oleh Siti sambil dinyanyikan.
Hidup Jingga benar-benar kacau sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga dan Semesta (END)
Novela JuvenilTAMAT sequel by Jingga di Samudra Jingga memilih pindah sekolah setelah kepeninggalan Samudra, ia memilih Bukittinggi sebagai tempat tujuannya. Disana, Jingga bersama neneknya. perjuangan sekolah Jingga begitu berat, Jingga yang pendiam dianggap mur...