Part 39. Jealousy

847 67 2
                                    


"Maaf gue ganggu waktu lo, Ren. Gue...gue enggak tau lagi mau mengadu sama siapa..." Sitta yang sedang terisak sedu-sedan menjadi fokus pemandangan para pengunjung cafe. Sejak bertemu dengan Reno di depan pintu masuk cafe, Sitta terus menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, bahkan terkesan menutupi wajahnya.

"Enggak apa-apa, Sit. Lo tenangin diri dulu. Kalau sudah siap baru cerita." Reno berusaha menenangkannya.

Sitta pun menumpahkan seluruh air matanya hingga sepuluh menit kemudian ia merasa sedikit lega, lebih tenang. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya.

"Mami...ngusir gue dari rumah. Dia bilang sudah muak dengan gue. Mami menumpahkan seluruh kemarahannya ke gue. Mami mukulin gue!" Sitta kembali terisak. Ia mengangkat wajahnya. Terlihat memar-memar bekas pukulan di wajahnya.

"Astaghfirullah! Lo...lo enggak apa-apa, Sit? Kita ke rumah sakit sekarang! Gue antar!" Reno bangkit berdiri.

Namun Sitta menahannya, memintanya untuk kembali duduk. Ia menolak perintah Reno.

"Gue enggak apa-apa, Ren. Nyokap udah biasa nampar gue sejak kecil. Tapi dulu, selalu ada Sena yang membela gue. Bagaimanapun gue membenci Sena, dia yang selalu ada buat menolong gue. Tapi sekarang..."

"Jadi, lo sudah benar-benar angkat kaki dari rumah itu?" Reno melirik pada dua koper berukuran besar di sebelah Sitta.

Sitta menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak punya tujuan. Pikirannya sedang buntu. Tak pernah terbayangkan olehnya jika akhirnya nasibnya akan seperti ini.

"Sorry sebelumnya, apa lo sudah mencari keberadaan ibu kandung lo?"

"Ibu kandung gue sudah meninggal.   Mbok 'Yem sudah menceritakan semuanya sama gue. Dia mengenal ibu kandung gue, namanya Masyitah. Waktu itu mereka bekerja bersama-sama sebagai ART. Setelah insiden yang terjadi dengan ibu gue...supir yang memperkosa ibu gue...dia dipecat oleh Nenek karena tidak mau bertanggung-jawab. Dulu ibu gue merupakan orang kesayangan Nenek, sempat mau diangkat sebagai anak oleh Nenek, tapi keluarga besar tidak setuju."

Sitta kembali menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. Ia berusaha mengendalikan diri agar tangisnya tidak kembali tumpah.

Reno berusaha menjadi pendengar saja. Ia memberi kesempatan pada Sitta untuk menyelesaikan ceritanya.

"Ibu gue yang waktu itu menyadari dirinya sedang mengandung, sempat berkeinginan untuk berhenti dan pulang kampung. Tapi dilarang oleh Nenek. Nenek berjanji pada ibu gue nantinya akan mengangkat anak yang dikandungnya sebagai cucunya. Lalu ternyata...saat melahirkan gue, ibu gue mengalami pendarahan hebat, dia meninggal. Dan saat itu, Nenek yang meminta Papi Mami untuk mengangkat gue sebagai anak. Karena mereka sudah menikah bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai anak. Yang jelas, Papi Mami sudah pasti menolak. Tapi Nenek memaksa mereka, mungkin dengan ancaman tidak mendapat warisan, entahlah. Karena yang gue tahu memang rumah yang gue tempati itu awalnya milik Nenek."

"Dan sekarang...setelah Papi dan Sena di penjara, Mami terlihat stres berat dan melempar semua kesalahan ke gue. Dia bahkan tidak sedikitpun menyalahkan Sena, anak kandungnya. Sekarang...gue enggak tahu harus gimana." Sitta kembali menundukkan wajahnya. Air mata yang tadi sempat ditahannya kembali mengalir.

"Bagaimana dengan Tante Danish? Apa lo sudah menghubungi Tante Danish?"

Sitta menggelengkan kepalanya.

"Belum, Ren. Gue enggak mau merepotkan Tante. Jujur, memang hanya Tante Danish satu-satunya orang yang menyayangi gue, selain Nenek. Tapi lo tahu 'kan kondisi kesehatannya sekarang? Tante sering sakit-sakitan. Dia bahkan belum tahu kabar Papi dan Sena di penjara."

She Is BLUE (Completed) (Masih Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang