Tatapan tajam itu sedang mengintimidasiku saat ini. Aku berada di ruang kerjanya setelah pertemuan dengan orangtua Yoan selesai. Ini pertama kalinya aku memasuki ruangannya, ruang Direktur Utama. Sudah hampir 10 menit aku didalam sini dan posisi kami tetap tidak berubah, duduk berhadapan di meja kerjanya. Aku yang ditatap tajam seperti ini hanya duduk diam gelisah tak tentu. Betul aku yang salah, aku sangat sadar atas kesalahanku. Oleh sebab itu aku hanya bisa diam tanpa berbicara karena aku tau, aku salah.
Hasil pertemuan tadi memang mencapai titik temu yang melegakan kami. Pa Ronald awalnya ga terima saat Yoan terdiagnosa penyakit lainnya karena selama ini ga pernah ada masalah tapi ternyata bu Naomi tau tentang masalah penyakit Yoan. Berakhir dengan perdebatan antara suami istri yang tidak ingin kami campuri. Setelah mereka selesai berdebat akhirnya pa Ronald menerima semua usulan kami dan segera mengurus dokumen administrasi untuk membawa Yoan terbang malam ini ke Singapore.
Karena masalah itulah aku berada didalam tatapan elang mas Tama saat ini. Yang paling aku ingat terakhir kali sebelum aku masuk ruangan ini adalah ucapan dokter Sean.
"Lo bangunin macan yang lagi tidur sih! Take care and be carefully!"
Beberapa kali memang mata kami bertemu tapi aku segera mengalihkan pandanganku saat tatapan itu semakin mengintimidasi. Aku menghela napas untuk kesekian kali tapi helaan napas ini sengaja aku keraskan agar mas Tama segera menghentikan tatapannya itu.
"Apa alasannya?" ucapan pertama mas Tama
Aku menoleh ke arahnya, akhirnya dia bersuara juga "Alasan apa?" lirihku
"Masih tanya alasan apa?! Kamu tuh nyadar ga sih kalo lusa itu kita mau lamaran dan kamu malam ini mau berangkat ke Singapore tanpa aku tau sebelumnya?!" ucapnya dingin
"Iya maaf mas. Aku salah, aku minta maaf" cicitku sambil menunduk
"Bisa ga ngomongnya sambil lihat aku?!"
Aku mendongak melihat ke arahnya kemudian menunduk lagi "Aku takut"
"Takut? Sama aku? Yakin?" suaranya sinis
Aku ga menjawab, tanganku semakin bergetar karena grogi. Baru kali ini aku lihat mas Tama marah dan ingatkan aku untuk ga bikin macan ini ngamuk lagi.
"Tritici, jawab aku!" suara tegasnya
Aku mendongak kembali ke arahnya, kini selain wajahnya memerah juga urat nadinya tampak jelas. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah kursiku dengan mata yang tetap menatapku tajam. Mataku mengikuti arah pergerakannya berakhir di wajahnya yang tadi sempat merubah posisi kursiku ke arah dia berdiri.
Mas Tama berjongkok didepanku, kedua tangannya meraih tanganku "Yang harusnya takut itu aku bukan kamu. Kalo kamu takut sama aku, kenapa kamu ga bilang dulu? Aku takut kalo kamu ga nganggap aku calon suami kamu sampe kamu mutusin hal besar itu sendiri tanpa pendapat aku" ucapnya lembut sambil mendongak kearahku
"Maaf mas tapi aku ga maksud gitu" ucapku sambil mengusap kedua sisi wajahnya "Sumpah, aku refleks gitu aja mutusin untuk ikut dampingi Yoan pas ada di ruang rapat. Ga ada niat aku buat nyakitin mas kaya gini" tangisku pecah
"Kamu yakin lusa nanti acara lamarannya tetap berlangsung?" tanyanya sambil mengusap air mataku yang sudah jatuh
Aku mengangguk "Aku besok pulang mas, selesai operasi pertama Yoan"
"Kalo operasinya lama gimana?"
Nah bingung aku! Gimana coba kalo kaya gini?
"Pokonya lusa nanti sebelum jam 10 aku udah ada di Bandung. Mas tunggu aja di Bandung sesuai rencana. Aku yakin bisa tepat waktu" aku meremas tangan mas Tama tegas, padahal hati masih dag dig dug juga ga yakin bisa apa ga aku tepat waktu dateng ke acara lamaranku sendiri
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekam Jejak Tritici (END)
RomanceTritici Xenon Mulyadi, dokter bedah anak usia 34 tahun itu masih tetap melajang. "Aku belum siap aja" itu yang selalu menjadi jawaban pamungkasnya saat tiap orang bertanya tentang pernikahan. Tici, sapaannya itu memiliki luka di masa lalu yang hingg...