Tama Rumi Pramoedya, seseorang yang telah menjungkir balikkan hidupku. Bagaimana bisa orang sepenting ini ga aku kenali?
Aku melepaskan pelukannya, membuat dia bingung dan kaget.
"Kenapa?" tanyanya sambil kembali mendekat
Aku mundur satu langkah saat dia melangkah ke arahku "Tunggu, biar aku berpikir"
"Hei kenapa sayang?" dia meraih pinggangku "Kamu pusing?" mata lembutnya melihatku sendu
"Jadi kamu anaknya Prof Rumi?" tanyaku
Dia mengangguk "Iya, kamu kenal ayahku?"
Ya pasti kenal, dosen sekaligus komisaris rumah sakit masa iya ga kenal.
"Berarti kamu, kakak dokter Sean? Iparnya Mona? Omnya Seon, Shaka, Senna?"
"Iya, kenapa?"
Aku melepaskan tangan yang melingkari pinggangku, masuk ke dalam kamar dan mondar mandir kaya setrikaan. Kalo gitu, Ristan yang di maksud Senna itu Tristan. Ayah Tristan yang ditakuti Senna itu berarti mas Tama. Kok bisa sih Cii ga nyadar sampe sana!
Mas Tama masuk menyusulku, mengikutiku mondar mandir dan akhirnya dia menghentikan gerakanku "Kamu kenapa sih?"
"Aku tuh lagi mikir mas. Kok bisa aku ga tau kalo kamu itu anaknya Prof Rumi? Atau aku harus bilang kalo kamu itu Direktur Utama Rumah Sakit yang baru?" ucapku skeptis
"Loh kan emang kamu ga pernah tanya tentang aku. Waktu aku mau ngenalin diri di mobil dan ceritain semua tentang aku, kamu malah ketawa geli. Wajar kamu ga tau aku kan"
"Tapi kok mas ga pernah berusaha bilang jujur sih. Aku tuh kaya orang bego tau ga saat tau kamu siapa. Kalo aja aku ga tanya tadi, bisa-bisa aku tau kamu siapa itu pas rapat dewan minggu depan"
"Aku minta maaf ga jelasin siapa aku sama kamu. Aku salah aku minta maaf" dia meraih tanganku dan mengelusnya, matanya menyiratkan kesedihan
Aku melepaskan tangannya "Bukan gitu, aku juga salah sih ga banyak tanya tentang mas. Aku tuh kecewa aja sama diri aku yang terlalu asik sama dunia aku sendiri. Inilah kenapa aku belum siap untuk nikah, aku takut ngecewain pasangan aku"
Dia mengangkup wajahku, mendongakan kearahnya "Lihat aku" mataku menolak dan melirik ke arah lain
"Lihat aku please" pintanya sambil sedikit menekan kedua tanganya pada wajahku
Aku mengalah dan menatap matanya. Mata hitam pekat dengan alis tebalnya itu menatap tajam padaku.
"Aku mencintaimu bukan sebagai Direktur Utama ataupun anak dari Komisaris Rumah Sakit, aku mencintaimu sebagai seorang Tama" ucapnya yakin dan memberi jeda
Dia menghembuskan napasnya "Jadi apapun yang ada dibelakang nama Tama, itu hanya sebuah title. Aku yang ada dihadapanmu ini adalah ayah dari Tristan, anakku yang mencintaimu sama seperti aku mencintaimu. Aku mencintaimu bukan sebagai dokter bedah anak terhebat yang orang kenal, aku mencintaimu sebagai Tritici dengan piyama kartun, rambut cepol dan tidur kaya orang pingsan. Wanita yang sangat menyayangi Tristan seperti anak kandungnya bukan sebagai pasien dirumah sakit"
Air mataku kembali membanjiri wajahku dan kedua tangan mas Tama yang masih setia berada diwajahku, sesekali jempolnya menghapus air mataku. Deru napasku sudah kacau karena getaran tubuhku akibat menangis.
"Kalau kata Ed Sheeran kamu tuh Perfect. Aku ga akan memaksamu untuk mencintaiku secepat aku mencintaimu. Aku hanya ingin kamu mencintaiku sebagai seorang Tama. Pria manja yang butuh perhatianmu. Pria yang cemburu pada anak usia 6 tahun, anaknya sendiri. Pria yang jauh dari kata sempurna tapi sangat ingin menjadi imam yang sempurna untukmu. Kamu ngerti kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekam Jejak Tritici (END)
Roman d'amourTritici Xenon Mulyadi, dokter bedah anak usia 34 tahun itu masih tetap melajang. "Aku belum siap aja" itu yang selalu menjadi jawaban pamungkasnya saat tiap orang bertanya tentang pernikahan. Tici, sapaannya itu memiliki luka di masa lalu yang hingg...