Ask You a Questions | PanWink

723 49 0
                                    

"Jika kamu ingin mengetahui satu hal, berarti kamu juga harus siap dengan konsekuensinya."

***

Mereka bersama. Mereka bahagia. Mereka melalui segalanya bersama dari waktu ke waktu hingga tanpa terasa beberapa tahun baru sudah terlewati bersama.

Tawa itu nyata. Tangis itu terasa. Semua yang dilalui masih menyisakan bekas yang begitu sempurna. Masih teringat jelas bagaimana euforia yang ia rasakan saat bersama-sama dengan pujaannya berhasil menyelesaikan ujian akhir semester dengan sukses. Amarah itu masih ia ingat getarannya saat mereka bertengkar hebat di malam yang dingin karena perbedaan persepsi.

Jihoon masih mengingatnya dengan jelas bagaimana di siang hari minggu yang cerah ketika ia baru saja memulai menyantap makanannya setelah selesai menonton film di laptopnya ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sang pujaan hati. Tiga kata yang mengiris namun diucapkan seolah-olah kalimat itu bukan suatu hal yang berat untuk diutarakan.

Guanlin mengajaknya berpisah.

Jihoon pikir memang sudah waktunya. Seperti kata-kata mutiara yang menjadi salah satu favoritnya bahwa: jika sesuatu itu bukan ditakdirkan untukmu, maka sepanjang apapun waktu yang kalian habiskan bersama tetap akan berpisah jua. Jihoon mencoba menerimanya. Ia berlapang dada, berusaha tidak menangisi apapun meski rasanya seperti disayat-sayat oleh belati tajam.

Tapi mengapa Guanlin masih berada di sekitarnya? Mengapa Guanlin masih bersikap selayaknya mereka yang dulu? Mengapa panggilan-panggilan lucu itu terus diucapkan? Mengapa selalu hadir jika tidak untuk tinggal?

Jihoon membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dan menjadi biasa. Tetapi ia begitu lemah, cintanya lebih kuat dari yang ia pikirkan. Kenapa rasa cintanya untuk Guanlin malah semakin mengakar kuat sehingga tumbuh begitu kokohnya?

Waktu terlewati, Guanlin telah bersama yang lain. Ada hati yang kecewa dan tersakiti yang dengan jelas Guanlin ketahui itu milik Jihoon.

Sekali lagi Jihoon mencoba menerimanya dan terbiasa. Barangkali ia bisa menjadi yang kedua selama Guanlin bahagia. Ia yang terlampau takut akan jawaban Guanlin seandainya ia menyuruh pria jangkung itu memilih menyurutkan suaranya. Jihoon yang periang terbungkam menyurutkan suaranya yang semula nyaring. Senyum itu tetap ada di wajahnya. Tingkah manis dan lucu masih selalu ia lakukan berharap dengan begitu ia dapat kembali meraih posisinya.

Hubungan itu berakhir. Bertepatan saat itu pula Jihoon mengetahui bahwa angan-angannya tidak akan tercapai. Keinginannya untuk kembali tidak akan terwujud. Guanlin suda berubah. Tidak ada lagi tempat yang tersisa untuk Jihoon di jejeran utama. Jihoon harus berpuas diri menjadi teman biasa.

Jihoon yang terluka menghilang. Berharap waktu akan membunuh cintanya. Mencari-cari kesibukan agar tidak selalu memikirkan Guanlin. Namun tangis itu selalu ada jika orang terdekatnya menyinggung soal perasaannya terhadap Guanlin. Ia menyerah. Sambil menertawakan dirinya yang kembali melangkah memasuki lingkup pertemanan Guanlin.

Hal itu terulang lagi. Jihoon yang naif, Jihoon yang lemah, Jihoon dan rasa cintanya yang teramat besar menyadari dirinya terjebak dalam jeratan mematikan lumpur hisap.

Guanlin? Entah karena terbiasa. Entah karena hal itu memang biasa baginya. Entah karena ia merasa hanya itu satu-satunya cara agar Jihoon tidak semakin tersakiti kembali bersikap seperti semula.

Panggilan itu,

Intensitas waktu itu,

Penjelasan itu,

Perhatian itu,

Kembali terjalin.

Jihoon yang lupa daratan di tengah perasaannya yang tak menentu menanyakan sesuatu yang sedari lama tidak dapat ia suara kan.

"Masih percaya padaku?"

"Iya."

"Masih menuruti semua kata-kataku?"

"Iya."

"Apa kau... masih menyayangiku?" Sejujurnya Jihoon dilanda rasa takut dan was-was saat mengungkapkan itu.

Guanlin seperti biasa, menjawab dengan santai tanpa beban, "Masih."

Awan mendung yang melingkupi hati Jihoon perlahan-lahan disinari oleh cerahnya matahari yang mampu menghangatkan hati Jihoon yang bersedih setelah sekian lama. Secercah harapan muncul. Senyum malu-malu Jihoon tunjukkan di wajahnya yang memerah.

"Kenapa masih?"

"Karena kamu jelek gendut hahahaha."

Jihoon mengerucutkan bibirnya kesal melihat Guanlin yang tertawa lebar setelah berhasil mengerjainya. Setelah suasana kembali terkendali, Jihoon melanjutkan rasa penasarannya.

"Sayangmu itu sayang yang bagaimana? Apakah seperti dulu?"

Jihoon yang melontarkan pertanyaan namun ia pula yang menjilat bibir bawahnya gugup.

Tapi di luar ekspektasi, kali ini Guanlin yang selalu bermain-main menjawab dengan serius. Bibir tebal itu melengkungkan senyum tulus.

"Berbeda, itu bukan rasa sayang yang seperti dulu."

Jihoon tertawa. Menertawakan kebodohannya yang tidak dapat menakar kapasitas hatinya. Jihoon belum siap, tapi ia memaksa mencari tau, maka ini lah konsekuensinya.

Jihoon terluka lagi. Mata cantik itu basah kembali. Malam itu ia lalui dengan menenangkan hatinya yang bergejolak jengah akan rasa sakit. Ia mencoba untuk terbiasa lagi setelah tanpa sengaja di balik setiap kedekatan mereka membuatnya memupuk harapan yang berubah menjadi angan-angan semu untuk kesekian kalinya.

END

Drabble untuk mengganti Wicked Lovely karena jujur aku juga lupa sama apa yg aku pikirin 6 tahun lalu pas bikin itu, jadi maaf kalo gak bisa jawab.

© Lady F
2019-04-22

All About Jihoonie's oneshoot | All-winkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang