"She is my best friend. I will always love her, and it would never, ever be enough."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
●●●●
Mungkin tidak akan pernah ada yang merasakan sakitnya patah hati seperti apa yang Jeno rasakan saat ini. Saat Evelyn berdiri didepannya, tersenyum bahagia memamerkan sebuah logam mulia sederhana namun elegan yang melingkar pada jari manisnya.
"..SO I SAID YES!"
Jeno sudah tidak lagi mendengar cerita gadis itu semenjak Eve berujar 'Jen, Mark melamarku!' beberapa menit yang lalu. Tapi pekikan terakhir berhasil membuatnya tersadar. Karena pekikan itu tidak hanya menggema dalam gendang telinga Jeno tapi juga di ulu hatinya.
Dan itu, terasa amat menyakitkan.
"You said what?"
"I said yes, Jenooo."
Jeno masih duduk terdiam memperhatikan Evelyn yang sibuk mengusap-usap cincin lamarannya dengan wajah berbinar.
"Tapi kalian belum lama bersama, Eve."
Eve mendelik. "Belum lama apanya? Ini sudah memasuki tahun ketiga kami, jen. Plus, aku sudah terlalu tua untuk menikah lebih lama lagi."
"Kamu belum—kamu nggak se-tua itu Evelyn. Baru dua puluh lima."
"Beberapa bulan lagi dua enam."
Jeno mendesah malas, merotasikan bola matanya sembari menyeruput kopi pahit yang semula memang sengaja ia siapkan untuk menemaninya menyelesaikan pekerjaan yang tertunda di kantor sebelum Evelyn datang.
Reaksi itu membuat Evelyn mencebik sedih.
"Kenapa sih? Kamu nggak suka aku nikah?" Eve yang semula berdiri cukup dekat dengan meja kerja Jeno memilih berjalan mendekati sofa panjang yang ada didalam kamar lelaki itu, lalu mendudukkan diri dengan kasar disana. Plus, kedua tangan yang menyilang didepan dada.
"Bukan gitu, Eve. Aku cuma sedikit kaget."
"Why?" tanya Eve menuntut. "What are you expect from me and Mark, then? Aku udah nungguin dia hampir empat tahun, Jen. Kok kamu nggak seneng sih? Mark yang workaholic itu udah mau luangin waktunya buat nikahin sabahat kamu, loh. Biar aku nggak jadi perawan tua ter—"
"Oke.. Oke.. stop it." Jeno membuka kaca mata yang menggantung di hidung bangirnya lalu memijit pangkal hidung pelan. "Mau jalan-jalan keluar sebentar?"
"Kemana?"
Nada merajuk Eve entah mengapa membuat Jeno terkekeh kecil. Gadis itu, selalu mampu membuatnya merasa lebih baik bahkan hanya dengan satu ekspresi.
"Kedai es krim biasa?"
Eve mendelik. "Mau ngapain?"
"Ngerayain hari bahagia kamu." Jeno kembali memasang kacamatanya. "Sekalian refreshing. Aku lagi mumet." Lanjutnya.
Detik itu juga Jeno yakin senyum cerah Evelyn kembali mengudara. Meski ia telah berbalik badan tak lagi menatap Eve. Meski Jeno tak melihatnya secara langsung. Jeno selalu tau. Karena ia yakin ia selalu mengenal Evelyn sebaik itu.