"What do you do when the one person you want comfort from the most is the one who caused your pain? How can I want so desperately for him to wrap me up in his arms but also want so much for him to leave me alone."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
●●●●
Menjauh.
Aleysha sudah memikirkannya ribuan kali setelah ia menginjakkan kakinya keluar dari hotel pagi itu. Dengan keadaan berantakan dan menjadi tontonan siapapun yang melihatnya, Aleysha berpikir panjang tentang apa yang sudah terjadi padanya.
Ia jatuh cinta, mengenal Jeno sebagai lelaki baik, berpikir jika lelaki itu juga menyukainya, menyerahkan diri juga hal paling berharga sebagai seorang wanita pada lelaki itu, dan hancur ketika nama wanita lain terlontar dari bibirnya.
Air mata Aleysha menggenang mengingat betapa menyakitkannya malam itu terasa. Bukan karena tubuhnya, tapi karena hati dan seluruh perasaannya tiba-tiba sudah pecah berkeping.
Tapi sesungguhnya itu bukan sepenuhnya kesalahan Jeno. Bukan sepenuhnya tanggung jawab lelaki itu juga. Karena jika Aleysha berani menolak, maka seharusnya ia tidak akan kehilangan apapun kini. Atau mungkin Aleysha akan kehilangan Jeno, tapi itu bukan masalah selagi perasaannya tidak terlalu patah.
Yang menjadi masalah kini adalah Aleysha kesulitan menghargai dirinya sendiri semenjak malam itu. Ia merasa begitu hina dan kotor. Setiap kali bersentuhan dengan siapapun Aleysha merasakan dengan jelas bayang-bayang jemari Jeno di seluruh tubuhnya.
Kejadian itu meninggalkan trauma yang meski tidak terlihat namun terasa sangat memberatkan.
Karena itulah Aleysha menjauh. Berusaha sebisa mungkin menghindari Jeno dan segala hal tentangnya. Empat hari pertama segalanya berjalan dengan baik. Jeno pun tidak pernah datang. Tak apa, Aleysha tidak butuh permintaan maaf. Toh tidak akan ada yang kembali dengan sebuah kata maaf.
Tapi kemudian Jeno kembali hadir dan menungguinya didepan kafetaria kantor. Membuat Aleysha semakin yakin untuk menjauh karena perasaan tidak nyaman yang hadir setiap kali ia melihat Jeno. Kejadian itu sudah berlangsung lebih dari sebulan yang lalu. Dan seolah mengerti, Jeno pun tak lagi menampakkan dirinya didepan Aleysha usai hari itu.
"Huek.."
"Nah, kan. Apa ku bilang soal ramen pedas di kedai seberang, Aleysha?"
Kalimat omelan itu berhenti dan berubah menjadi pijatan ringan di tengkuk. Aleysha terus menatap wastafel sambil merasakan gejolak aneh dari dalam perutnya. Ini sudah terjadi hampir dua minggu. Baik-baik sajakah Aleysha?
"Bersihkan wajahmu, aku ambilkan obat maag."
Donghyuck-sahabat baik Aleysha, pun berlalu. Meninggalkan Aleysha yang terdiam cukup lama memandangi dirinya sendiri pada pantulan kaca. Pikiran Aleysha berkecamuk. Wajahnya tampak cekung dan ada kantung mata yang menghitam. Aleysha merasa kesulitan makan belakangan ini karena masalah pada perutnya. Juga ia menjadi lebih moody dan..
Bola mata Aleysha membesar. Tangannya bergetar halus saat meraih kalendar yang terletak disudut meja rias dan pikiran buruk itu tiba-tiba datang tanpa mampu ia cegah.
Tidak.
Tidak mungkin, kan?
Aleysha yakin ia sudah meminum pil kontrasepsi dari apotek saat itu. Yah meski tak sesegera mungkin karena pikirannya melayang cukup jauh beberapa hari setelah kejadian itu. Tapi.. bagaimana mungkin? mereka hanya melakukannya-
"Sudah?"
Aleysha menoleh pada Donghyuck dengan mata berkaca-kaca.
"Ya.. kenapa menangis?"
Pertanyaan itu membuat pertahanan Aleysha runtuh perlahan. Ia luruh begitu saja menggenggam erat kalendar dan meraung pias.
"Kenapa, sya? Apa yang terjadi?"
Aleysha memeluk Donghyuck saat lelaki itu mendekat, mencengkram erat tshirt coklatnya menyalurkan emosi.
"H-hyuck.. b-bagaimana jika aku hamil?"
Pertanyaan itu ditutup dengan isak tangis Aleysha yang semakin tidak terkontrol.
Aleysha tidak mengerti pada bagian mana ia melakukan kejahatan hingga Tuhan menghukumnya seberat ini. Dua garis yang tertera pada testpack yang Donghyuck beli seolah menampar Aleysha dengan kenyataan pahit.
Jemarinya bergetar halus. Ini sudah percobaan ke-empat dan seluruh testpack menunjukkan hasil serupa. Bagaimana mungkin? Mereka hanya melakukannya satu malam. Aleysha yakin betul tidak akan ada yang terjadi padanya usai kejadian itu.
"Sya? Boleh aku masuk?"
Donghyuck membuka pintu kamar mandi saat Aleysha mempersilahkannya. Dari seluruh testpack yang tergeletak diatas meja rias kamar mandi, Donghyuck sudah dapat mengambil kesimpulannya sendiri.
Lelaki itu menatap Aleysha pias, berjalan mendekat, lalu menarik Aleysha kedalam pelukannya. Menenggelamkan gadis itu agar ia merasa nyaman untuk menangis.
"Bagaimana ini, hyuck? Bagaimana aku harus melanjutkan hidup?"
Aleysha mulai terisak kecil. Jemarinya meremat tshirt Donghyuck lemah. Kenyataan jika ia tengah mengandung tiba-tiba saja menguras seluruh energinya.
"Tenang, semua akan baik-baik saja, sya. Ada aku disini."
Tangis Aleysha kian menjadi-jadi dalam pelukan Donghyuck. Jemarinya memutih meremat tshirt, juga mendingin otomatis. Rasanya seluruh dunia tengah mengejeki Aleysha saat ini karena kebodohannya. Karena kecerobohannya. Kini semuanya jadi dipertaruhkan.
Yang jelas, Aleysha tidak mungkin terus berada di tempat yang sama dengan Jeno, kan? Ia tidak mungkin-
"Ayo kita bicara dengan lelaki itu."
Perkataan Donghyuck semakin menampar Aleysha. Ia menggeleng dalam pelukan.
"Kenapa? Dia laki-laki yang sama, kan?"
Aleysha mengangguk. Ia memang telah menceritakan segalanya pada Donghyuck. Karena jika bukan Donghyuck lalu siapa lagi? Aleysha tidak memiliki siapapun lagi dalam hidupnya.
"Kalau begitu dia harus bertanggung jawab, sya."
Aleysha kembali menggeleng menolak usulan sahabatnya. Tangisnya pecah semakin tidak karuan. Bagaimana mungkin ia meminta pertanggung jawaban dari Jeno? Lelaki yang mencintai wanita lain dan merebut mahkotanya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Jeno bisa saja berpikir jika bayi yang Aleysha kandung bukan anaknya. Mereka hanya pernah melakukan itu satu kali.
"Sya.."
"Kamu nggak ngerti, hyuck. Dia cinta wanita lain, aku nggak mau hidup dibawah bayang-bayang. Lagian ini udah terlalu lama, dia bisa aja nggak percaya dan punya alibi lain tentang-"
"Sya.." Donghyuck memotong, memanggil Aleysha dengan lembut saat tangis Aleysha semakin meraung-raung. "Okay. Its okay, dia nggak perlu tanggung jawab. Tapi ayo coba untuk kasih tau dia terlebih dahulu, selepas itu kita bisa ambil keputusan lain."
Mata Aleysha bergetar saat Donghyuck menangkup kedua pipinya, memaksa Aleysha mendongak. Menghapus lelehan air matanya dengan lembut. Mata Aleysha bergetar penuh ketakutan dan Donghyuck seolah begitu mengerti ketakutannya.
"Jangan takut, sya. Ada aku disini."
●●●●
Dee's Note.
Double up!
Yah.. begitulah. Ide ceritanya memang mainstream banget kok. Tapi ya gapapa aku suka aja nulis yg kaya gini hehe