"You're the angel that my demons beg to make fall."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
●●●●
Dentang bel diatas pintu masuk cafe menyambut kedatangan Jeno di suatu sore yang mulai mendung. Ia memutuskan untuk singgah sebentar setelah jam kantor usai. Adalah sebuah cafe sederhana yang berada tak jauh dari apartment miliknya, menjadi pilihan Jeno.
Ia memesan satu cup espresso tanpa campuran air sama sekali. Sepuluh menit kemudian, cup yang mengepulkan aroma kopi yang begitu kuat sudah tersaji didepannya.
Jeno memilih duduk di sudut cafe. Tempat yang terlihat tenang meski ramai pengunjung itu benar-benar membuat Jeno merasa nyaman. Di samping kanannya terdapat jendela kaca besar yang langsung mengarah pada lahan outdoor, smooking area. Disana terlihat gerimis kecil mulai turun membasahi tanah, menimbulkan bau yang menenangkan dari alam.
Jeno menyesap espresso miliknya. Lalu pahit itu mulai menjalar-jalar ke seluruh indra cecap Jeno. Ia meneguknya pelan-pelan. Sengaja, agar terbiasa pada pahit-pahit lain yang akan menyambangi hidupnya mulai hari itu.
Terhitung dua minggu setelah Evelyn bercerita heboh tentang lamaran dari kekasihnya. Beberapa hari yang lalu, gadis itu memberi kabar jika Mark akan datang untuk melamarnya secara resmi ke hadapan ibu dan ayahnya malam ini.
Berita itu, entah mengapa membuat semangat hidup Jeno surut hingga ke titik dimana ia tak lagi merasa memiliki gairah untuk hidup.
Bola mata kelam Jeno masih terlihat teduh, namun pancarannya terlihat amat redup. Hampir-hampir mati. Mungkin benar kata orang-orang perihal cinta, bahwa selalu akan ada luka dalam setiap perjalanannya.
Jeno yakin ia sudah mempersiapkan dirinya untuk saat-saat seperti ini. Terlebih Eve dan Mark bukan lagi pasangan baru. Harusnya, Jeno dapat lebih menguasai dirinya mendengar berita bahagia dari Eve.
Tapi ternyata tidak ada yang mudah saat patah hati melanda.
Bahkan kini, bernafas saja rasanya begitu sulit.
Pikiran Jeno melayang-layang pada tahunan silam saat ia bertemu Evelyn di umur yang masih begitu belia—enam belas tahun. Itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Mereka adalah tetangga dalam satu kompleks perumahan elit kala itu.
Saat pertama kali Jeno pindah dan menetap di rumah baru yang telah dipilih oleh kedua orang tuanya, ia bertemu Evelyn yang di suatu sore terlihat tengah menyajikan teh hangat untuk ayahnya. Sementara sang ibu masih merapikan beberapa tanaman bunga.
Rumah Evelyn terlihat sangat hangat dan sederhana. Pagarnya terbuat dari belukar tanaman yang ditata sedemikian rupa. Halamannya penuh dengan bunga warna warni. Tanah kosong disamping rumah diisi dengan meja piknik sederhana dan sebuah kolam ikan yang akan dirawat oleh Tuan Seo setiap harinya.
Sore itu, Evelyn dan ketiga anggota keluarganya tampak tengah tertawa riang menikmati akhir pekan bersama. Dan entah mengapa, itu membuat Jeno iri bukan main.
Rumah Jeno terletak tepat disamping rumah Evelyn. Sebelum pindah, kedua orang tuanya memutuskan untuk merenovasi total rumah yang sebelumnya mereka beli dari seseorang itu. Kini kemewahannya terlihat amat kentara. Bersanding dengan rumah Eve, Jeno saat itu merasa amat sangat malu.
Rumahnya yang terlihat bak istana terasa amat dingin, sementara rumah sederhana Evelyn tampak begitu hangat.
Kedua orang tua Jeno memang sibuk mengurusi bisnis keluarga mereka yang besar. Dari sanalah mereka mampu memberikan apapun yang Jeno pinta. Sementara Tuan Seo hanya merupakan kepala divisi di suatu perusahaan konstruksi swasta. Namun begitu, ada satu hal yang tak pernah Jeno dapatkan dari kedua orang tuanya dan kemudian ia temukan didalam keluarga Evelyn.
Kasih sayang.
Itulah yang membuat Jeno bertahan disana. Begitu dekat dengan keluarga Evelyn meski awal mula pertemanannya dengan putri dari keluarga Seo itu tidak terkesan baik.
Kekurangan kasih sayang membuat hati dan sikap Jeno menjadi keras. Ia tidak ingin dililit peraturan. Terbiasa mendapatkan apa yang ia mau. Ia tidak suka diperintah. Jeno tidak suka menjadi anak baik.
Di suatu pagi saat Evelyn menemukan nyonya Lee yang baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah dengan ekspresi kesal, Eve menghampirinya. Wanita itu berjalan cepat seolah diburu waktu. Dari sanalah Eve mendapati informasi jika Jeno dikenai skorsing karena kedapatan membawa rokok dan merokok di lingkungan sekolah.
Eve kemudian menemukan Jeno di atap sekolah. Kala itu mereka masih kelas dua sekolah menengah lanjutan. Jeno sibuk menghembuskan asap dari nikotin yang ia hisap saat pintu rooftop terbuka lebar.
"Kenapa kau datang?"
Lelaki itu tidak menoleh, tapi ia jelas-jelas tau bahwa itu adalah Evelyn. Karena hanya gadis itu yang tau tempat persembunyiannya selama ini. Evelyn pernah memergoki Jeno untuk pertama kalinya tengah merokok saat ia tengah mencari gudang penyimpanan arsip sekolah beberapa minggu yang lalu.
"Nyonya Lee datang, kenapa kamu diam disini?"
"Dia tidak butuh bertemu denganku."
Jawaban Jeno membuat langkah Eve terhenti. Namun sepersekian detik kemudian Eve kembali maju hingga membawa dirinya duduk tepat disamping Jeno. Membuat Jeno menoleh cepat padanya.
"Kau alergi asap rokok, kan? Sana, jauh-jauh."
"Tidak masalah, aku mau disini sebentar."
Eve merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah masker sambil terbatuk ringan. Masker sederhana itu membuat batuk Evelyn mereda. Lalu ia kembali menatap lurus kedepan, membiarkan Jeno berdiam diri bersama pikirannya yang mulai berkecamuk.
Tidak sampai dua hisapan, Jeno mendengus kesal saat mematikan puntung rokoknya lalu membuang benda itu sembarangan.
"Kenapa berhenti?" tanya Eve yang cukup terkejut karena sikapnya.
"Menurutmu?"
"Aku sudah pakai masker. Tidak apa-apa, Jeno."
Jeno mengacak rambutnya geram. "Kalau guru berjalan disampingmu dan mencium bau nikotin pada bajumu, kau mau jawab apa nanti?"
Evelyn diam.
"Kau pasti tidak akan menyebut namaku, aku tau itu. Tapi aku bukan lelaki pengecut yang akan membiarkan orang lain menanggung akibat dari kecerobohanku."
Eve menoleh, membuat Jeno ikut menoleh. Mata mereka beradu cukup lama sebelum Jeno mendengar Eve berkata dengan begitu lembut,
"Kenapa tidak berhenti merokok saja, jen? Aku bisa membantu kalau kamu mau."