Kantor Polisi

1.5K 81 10
                                    

Rama cukup terkejut saat Rose menyuruhnya belok ke arah kantor polisi. Berulang kali ia bertanya pada gadis itu apakah mereka salah jalan atau tidak, tapi gadis itu tetap menjawab bahwa ini memang tempat yang dituju. Rama melepaskan helmnya. Begitu pun dengan gadis itu.

"Tunggu di sini. Jangan masuk." ucap Rose singkat lalu ia segera masuk ke dalam.

Padahal Rama baru saja ingin melontarkan penolakan. Tapi Rose sudah terlebih dahulu masuk ke dalam. Rama hanya bisa menghela napas. Ia mengisi waktu kosong tersebut dengan bermain ponsel. Sudah dua jam lamanya tapi Rose belum juga keluar. Rama memutuskan untuk menyusul Rose ke dalam.

Ia mulai menjauh dari motornya. Kakinya menginjak anak tangga satu persatu. Langkahnya tiba-tiba terhenti tatkala ia mendengar suara Rose yang agak berteriak. Rama mulai melangkah lagi, tetapi ia memelankan langkahnya.

Kini Rama sudah berada di ambang pintu. Kemudian ia melihat Rose yang sedang berdebat dengan polisi. Gadis itu memegang sebuah amplop coklat.

"Pak, tolong pak. Kalau ayah saya kenapa-kenapa memangnya bapak mau tanggung jawab?" ucap Rose, lirih.

"Gak bisa, dek. Kalau sifanya gak darurat gak bisa dilarikan ke rumah sakit."

"Bapak tau apa sih soal ayah saya? Bapak tau apa soal penyakit jantung? Bahaya pak kalau di sepelekan!"

"Kamu jangan cari-cari alasan, deh."

"Saya gak cari-cari alasan pak! Ini hasil diagnosa dari rumah sakit, apa masih kurang buktinya?"

Rama mulai menghampiri mereka. Ia sudah paham setidaknya sedikit mengenai situasi ini. Petugas tersebut menatap Rama yang tiba-tiba berdiri di sebelah Rose. Sedangkan gadis itu masih memohon kepada petugas itu. Ia tidak memperdulikan kehadiran Rama. Sebenarnya ia merasa risih saat Rama berada di sekitarnya. Tapi apa boleh buat? Ia harus fokus membawa ayahnya ke rumah sakit saat ini juga.

Kemudian Rama memikirkan sebuah cara bagaimana membantu Rose. Ia mengulurkan tangannya kepada polisi itu.

"Pak, perkenalkan,"

Polisi itu membalas uluran tangan Rama. "Saya Rama Prananta, anaknya Bapak Zayyan Prananta."

Perubahan raut wajah dari petugas itu segera terlihat. Petugas itu tersenyum canggung kepada Rama. Kemudian ia tak lagi memperdulikan Rose yang masih ada di hadapannya. Badannya ia hadapkan sepenuhnya kepada Rama.

"Eh, Rama. Bapak gimana? Sehat?" ucapnya, basa-basi.

Rama mengangguk. "Sehat pak, alhamdulillah." jawab Rama dengan tegas.

"Nak Rama ada perlu apa kemari?"

Rama tak langsung menjawab. Ia melirik Rose yang ada di sampingnya. "Kenalin juga pak, ini Rosetta. Pacar saya. Hari ini jadwal saya nemenin pacar saya ke sini. Kirain bakal sebentar, tapi saya udah nunggu di bawah sejam lebih gak selesai-selesai. Ini kendalanya apa ya pak?"

Petugas itu meneguk salivanya. "Tahanan gak bisa di bawa ke rumah sakit kalau gak darurat pak."

Rama mengangguk. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia mulai mencari kontak seseorang untuk di telepon. Rose melirik layar ponsel Rama. Nama 'ayah' tertera di ponsel tersebut. Tak lama, panggilan itu tersambung.

"Halo? Kenapa Ram?" ucap Zayyan dari seberang telepon.

Rama langsung memberikan ponsel tersebut kepada Rose. "Ngomong, Ta. Jelasin."

Rose awalnya tidak mau menerima ponsel tersebut. Ia kebingungan. Tetapi Rama segera meyakinkan Rose bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia berbisik pada Rose. "Percaya sama gue. Pasti bisa," ucapnya dengan yakin di telinga Rose.

Akhirnya gadis itu pun mengambil ponsel Rama. "Halo? Permisi pak?"

"Ya? Dengan siapa ini?" suara berat Zayyan membuat Rose takut. Ia menatap Rama, seolah bertanya apakah ia harus melakukan ini atau tidak. Lagi-lagi Rama hanya tersenyum dan mengangguk.

"Saya Rosetta Avila Adinda," Rose menjeda ucapanya.

Rama tiba-tiba mendekatkan bibirnya pada ponsel tersebut. "Pacar Rama, pah. Dia mau minta tolong."

Kini giliran Rose yang meneguk salivanya. Pacar? Baru juga kenal, ucapnya dalam hati.

"Ya mau minta tolong apa?"

Rose masih ragu. Rama terhitung orang asing baginya. Apa Rama harus mendengar semuanya? Ia ingin meminta Rama menjauh tetapi tidak mungkin. Polisi ini akan curiga. Dengan berat hati, Rose pun mengungkapkan semuanya. "Mohon maaf pak apabila sebelumnya mengganggu waktu bapak. Tapi saya butuh bantuan bapak, barangkali bapak bisa membantu. Ayah saya merupakan salah satu tahanan di kantor polisi di dekat pasar burung. Ayah saya memiliki penyakit jantung. Hari ini ia menelpon bahwa ia mengalami sesak napas. Saya harus membawanya ke rumah sakit dengan segera. Ayah saya sebelumnya memang selalu seperti ini. Jika sudah sesak napas harus segera ke rumah sakit. Jantung yang bekerja hanya tinggal 20% saja, pak. Tapi tidak diizinkan oleh petugas. Katanya karena tidak darurat jadi tidak diperbolehkan ke rumah sakit." jelas Rose, panjang lebar.

Rama agak terkejut mendengarnya. Ucapan Aldo benar. Rose memiliki masalah yang rumit. Tidak seharusnya ia mempermainkan perempuan ini. Tapi perempuan ini sudah memakan umpannya, mau bagaimana lagi?

"Baik, tolong serahkan telpon ini ke Rama lagi ya. Saya mau bicara."

"Baik pak, terima kasih." ucap Rose lalu menyodorkan ponsel itu pada Rama.

Rama menempelkan benda pipih itu pada telinganya. "Halo? Gimana pah?"

Polisi itu masih diam. Ia menunggu jawaban dari Zayyan. Rama mulai menjauh perlahan dari Rose dan petugas itu. Saat Rama masih menelpon, tiba-tiba seorang petugas pun datang menghampirinya. Ia tidak tau itu siapa, tapi ia menduga bahwa jabatannya lebih tinggi. Terbukti, petugas yang berada di hadapannya langsung istirahat di tempat saat di hampiri.

"Siapa pacarnya Rama?" tanyanya, tegas.

"Siap pak, Rosetta Avila, anak dari Bapak Sena." jawab petugas di hadapannya itu.

Polisi yang berpangkat lebih tinggi itu mulai menyodorkan sebuah kunci pada petugas di hadapannya. "Buka. Saya panggil ambulan."

Rose menghela napas lega. Petugas itu segera bergerak untuk membawa ayahnya ke sini. Gadis itu mulai mencari keberadaan Rama. Ia melihat Rama berjalan dengan santai ke arahnya sambil tersenyum.

"Udah? Bisa kan?"

Rose tersenyum senang. Rama pertama kali melihat Rose tersenyum seperti itu. Ia memperhatikan pelupuk mata gadis itu. Berkaca-kaca. Rama reflek mengusap kepala Rose. "Gue tunggu di bawah ya, nanti turunnya hati-hati."

Detik itu, untuk pertama kalinya Rose sangat bersyukur bisa mengenal Rama.

Rama Prananta (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang