Lebih dalam

1.8K 90 19
                                    

"Izinin gue kenal lo lebih dalam." —Rama Prananta

***

Rose masih diam, tak memberontak seperti biasanya. Ia akan mencoba membuka hati sesuai dengan apa yang dibilang Bu Raras. Rama sebenarnya sudah mengetahui hal ini. Karena semenjak pembicaraan Rose dengan Bu Raras, nampaknya Rose mengikuti semua ucapan Bu Raras. Dengan ini Rama menyimpulkan bahwa Bu Raras adalah orang yang penting bagi Rose.

Rama tersenyum senang, semesta kali ini berpihak padanya. Lelaki itu menarik kursi untuk dirinya sendiri setelah menarik kursi untuk Rose. Ia menyalakan sebuah lilin di tengah-tengah meja bertaplak merah. Tidak lama, pelayan pun datang membawa makanan.

Rose awalnya biasa saja. Tapi karena dirasa semakin lama semakin banyak, Rose segera membuka suaranya setelah para pelayan itu pergi. "Ram, ini banyak banget. Buat siapa aja?"

"Kita doang."

"Hah? Yang bener aja lo! Pemborosan!"

Rama yang semula ingin memotong steak untuk Rose menanggapi ucapan Rose terlebih dahulu. Pisau dan garpu itu tidak jadi mengiris daging yang kini berada di hadapan mereka berdua.

"Gue gak tau suka apa, jadi gue pesen dari setiap menu dan rasa yang berbeda."

"Gila lo!"

Rama berdecak. "Depan makanan, jaga kelakuan lo."

Rose melotot. "Kok jadi—"

"Bisa gak, kali ini gak protes dulu dan ikutin aja alurnya? Lo gak bisa ya kalau gak marah-marah sehari aja?"

Rose pun akhirnya terdiam, sesuai permintaan Rama. Sedangkan lelaki itu melanjutkan aktivitasnya. "Nah kan kalau diem gini enak. Setidaknya gue libur dulu denger lo marah-marah walau sebentar sih." katanya lalu mengelap pisau dan garpu untuk Rose dan meletakkannya di samping piring milik Rose.

"Gue bukan orang yang suka melayani orang lain. Gue juga bukan orang yang gampang di ajak makan atau ngajak makan orang lain kecuali orang itu udah deket sama gue. Gue juga gak suka kalau ada seseorang yang notabene nya dia orang lain tapi mendekat terus ke gue. Gue juga gak suka kalau harus ngasih perhatian ke orang lain apalagi dia orang baru."

Itu semua berbanding terbalik dengan kenyataan yang sedang dihadapi, batin Rose.

"Gue gak nanya." kata Rose cuek sembari memasukkan daging ke mulutnya yang sudah di potong-potong oleh Rama.

Rama memutar bola matanya malas. "Tau. Gue kan lagi ngasih tau."

"Gue gak mau tau."

"Lo ngerusak suasana tau gak? Nyebelin banget."

"Bodo amat, gue juga gak mau ada di suasana kayak gini."

Rama segera mengembalikan ke topik semula sebelum semakin jauh. "Tapi kalau gue udah lakuin itu, berarti dia spesial, Rose."

Rose mengetahui siapa yang dimaksud. Tapi ia tetap tak berkutik. Ucapan dari Bu Raras untuk membuka hati masih terngiang-ngiang. Tiba-tiba Rama mengucapkan sesuatu yang tak ingin ia dengar. Bahkan Rose menggenggam pisau dan garpunya dengan erat saat Rama berbicara.

"Ta? Gue boleh manggil lo pake itu kan?"

"Kenapa baru minta izin sekarang sedangkan lo dari kemarin-kemarin udah manggil gue Ta seenaknya?" kata Rose, kesal. Tetapi tidak di hiraukan oleh Rama.

"Ta, dunia itu pasti berputar dan akan terus berjalan. Dunia gak akan nungguin kita baik-baik aja untuk berjalan seperti semula. Dunia gak sebaik itu. Kita yang harus ngejar dunia. Mau kita baik-baik aja atau enggak.

Ada banyak hal di dunia ini yang gak bisa kita hindarin. Ada banyak hal di dunia ini yang terpaksa harus kita terima, suka gak suka. Diantara banyaknya hal yang buruk, masih banyak juga hal-hal yang baik.

Dunia baik atau engga, gimana perspektif kita memandangnya.

I just wanna say sorry if u not comfortable with me. Tapi Ta, gue juga mau minta maaf karena udah lancang dengar pembicaraan lo sama ibu tadi. Yang gue bisa simpulin adalah lo punya luka yang dimana luka ini bikin lo gak berani buat melangkah maju. Dia seolah jeruji besi yang bikin lo gak bisa kemana-mana. Dia seolah tali yang mengikat lo dan bikin lo gak bebas buat pergi kemana pun lo mau.

Ta, tali itu yang bikin lo menderita. Lo bisa lepas dari tali itu. Lo bisa buat liat dunia bahwa dunia gak seburuk dan sehitam itu. Lo bisa keluar dari lingkaran itu. Dari jeruji itu. Tapi lo harus percaya sama orang lain dulu buat keluar dari dunia lo yang gelap itu.

Lo harus buka hati, coba percaya sama orang lain. Gue gak tau luka lo sedalam apa tapi kalau lo gak berani coba buat keluar dari zona nyaman lo, hidup lo bakal terus kayak gini.

Ta, gue mau. Gue mau jadi orang yang bantuin lo buat keluar dari lingkaran gelap itu. Gue mau jadi orang yang nemenin lo. Gue mau jadi orang yang ada buat lo.

Ta, gua mau ambil kesempatan itu. Kesempatan yang belum tentu akan datang dua kali. Kesempatan buat dapet kepercayaan dari lo. Kepercayaan untuk bisa bantuin lo keluar dari luka masa lalu. Kepercayaan untuk bisa jadi orang yang lo andelin. Kepercayaan untuk bisa jadi orang yang ada buat lo.

Gue mau, Ta. Gue mau dapet dan ambil kesempatan buat jadi orang spesial di hidup lo.

Ta, izinin gue ya? Izinin gue buat coba buka hati lo. Buat coba masuk ke kehidupan lo.

Lo udah keseringan sendiri. Ini saatnya lo nerima bantuan dari orang lain.

Izinin gue buat kenal lo lebih dalam."

Rama mengakhiri ucapannya. Rose benar-benar tak bisa berkutik. Ia tak menyangka bahwa laki-laki di hadapannya bisa berkata-kata seindah itu. Padahal biasanya selalu ketus, julid dan kasar.

Rama menunggu reaksi dari Rose. Kini meja mereka hanya ada suara piring dan garpu. Rama masih setia menunggu jawaban Rose.

Saat Rama menghabiskan suap terakhirnya, tiba-tiba Rose bersuara.

"Gue kasih kesempatan itu buat lo." kata Rose lalu berdiri mengambil tasnya.

"Thanks, Ta. Tunggu ya kabar dari gue.""

***

Rama Prananta (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang