Evidence 1: Free Food

650 98 20
                                    

Sudah sejak lama Pak Tim ingin membuat acara pembagian makanan gratis bagi para tunawisma. Acara ini sebenarnya dibuat sekaligus untuk memperkenalkan Lentera Damai pada masyarakat luas, terutama bagi masyarakat berkondisi ekonomi kurang mampu yang membutuhkan bantuan. Meski begitu, dana yang terkumpul selalu lebih sering digunakan untuk keperluan rutin atau mendadak lainnya, sehingga acara ini terus tertunda.

Berkat donasi dari Pak Susabda kemarin, acara ini bisa dilaksanakan. Sudah sejak pagi Sasha sibuk di dapur Lentera Damai, membantu sukarelawan lain mempersiapkan makanan. Menu yang dibagikan biasanya kering supaya mudah dibagikan. Pak Tim mengusulkan nasi langgi, yang disambut dengan senang hati oleh semua sukarelawan.

Sasha kebagian tugas mengisi tiap kotak kardus dengan kering kentang. Naya ikut membantu mengisikan telur dadar yang sudah diiris tipis ke dalam kotak-kotak tersebut. Selain kotak kardus, mereka juga menyiapkan kertas minyak yang lebih mudah dibawa.

"Nay, jangan makan telurnya, dong!" seru Sasha saat memergoki Naya memasukkan sebagian kecil telur ke dalam mulutnya. "Nanti habis, gimana?"

"Duh, maaf Sha, habisnya Tante Nandani pinter bikin telur," balas Naya sambil mengunyah.

"Ma, telurnya cukup, kan?" Sasha ganti bertanya pada ibunya, Nandani, yang masih memasak telur sedari tadi. "Dihabisin Naya, nih."

"Cukup, kok," Mama menyahut. "Masih dua lusin kayaknya. Nanti kalau Naya mau, Tante masakin yang lain buat kamu."

"Asyik!" Naya menyeringai lebar. "Sha, lo harus ajak gue makan siang bareng kapan-kapan."

Sasha memutar mata geli. Ibunya bekerja sebagai koki kepala di restoran Pak Tim, tentu masakannya enak-enak. Saat Pak Tim pertama kali mendirikan Lentera Damai, Mama turut menjadi sukarelawan pertama yang memberikan bantuan. Dirga dan Sasha sama-sama bergabung karena Mama.

Setelah selesai memasak, Mama bergabung dengan Sasha dan sukarelawan lain untuk segera menyelesaikan persiapan mereka. Sudah ada perkiraan 200 kotak kardus dan bungkusan nasi langgi untuk dibagikan.

Seluruh sukarelawan yang ada hari itu dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Kelompok-kelompok ini berpencar ke berbagai area yang sekiranya banyak didatangi pengamen, pemulung, atau tunawisma. Mereka segera bergerak ke area yang dimaksud, masing-masing membawa makanan yang secukupnya.

Di tempat Sasha berkeliling, kebanyakan targetnya adalah pengamen yang berjalan di tiap-tiap perempatan, berusaha mendapatkan uang dari kebaikan hati pengemudi. Sabtu ini begitu panas, berbeda dengan hari-hari biasanya yang agak mendung. Sasha mengikat rambutnya seraya membayangkan bagaimana rasanya harus memanggang diri setiap hari hanya untuk mendapatkan uang yang tidak seberapa.

Sasha tahu apa akibat paparan sinar ultraviolet yang berlebihan pada kulit—sinar matahari yang kejam bisa membakar kulit. Jika parah, bisa menyebabkan kanker kulit. Sasha tidak tahu bagaimana cara para pengamen itu bertahan hidup di jalanan. Tidakkah mereka ingin punya pekerjaan yang lebih baik? Mereka jelas layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sekadar meminta-minta.

Itulah salah satu alasan Sasha bergabung dengan Lentera Damai: memberikan kesempatan kedua bagi orang-orang yang tidak seberuntung dia. Tidak ada manusia yang layak hidup dari belas kasihan orang lain. Semuanya layak mendapatkan kesempatan yang lebih baik, hidup dari usahanya sendiri, tanpa perlu menunggu iba orang lain.

"Enaknya berpencar aja kali ya?" tanya Mas Yoga, sukarelawan yang memimpin kelompok kecil Sasha. "Dibagi jadi dua orang satu tim."

Sasha dan Naya menjadi satu tim. Mereka segera bergerak ke arah timur dari titik awal. Tidak tampak pengamen atau tunawisma saat mereka menyusuri jalan itu hingga hampir mencapai perempatan berikutnya.

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang