Evidence 9: Hopes and Dreams

386 74 26
                                    

Etimologi masih sepi saat Revan membuka pintu belakang. Dia sengaja berangkat agak awal, takut tersesat, tapi dia dapat mengingat jalan menuju tempat kerjanya dengan baik. Butuh 20 menit untuk berjalan dari Lentera Damai ke Etimologi. Awan sedikit menutupi matahari, sehingga perjalanan tidak terasa begitu berat. Lagipula, Revan sudah terbiasa berjalan begitu jauhnya setiap hari. Berjalan 20 menit adalah hal kecil buatnya.

Baru ada Dirga dan seorang pegawai pendiam yang sedang sibuk di dapur saat Revan tiba. Dirga menyapa Revan dari tempatnya yang biasa-di dekat mesin pembuat kopi yang selalu dia bersihkan setiap pagi. Etimologi belum akan buka sampai setengah jam lagi-jam sepuluh pagi-tapi menurut pegawai lainnya, Dirga sudah siap sejak jam sembilan. Dirga mencintai pekerjaannya dan itu terlihat dari setiap tindakannya. Revan membayangkan, seperti itulah nanti dia kalau sudah mencapai cita-citanya sebagai penyanyi.

"Hei, Van, gitarnya ada di ruang penyimpanan," ujar Dirga. "Bentar, gue tunjukin, biar lo bisa nyiapin sendiri lain kali."

Tidak terlalu banyak sebenarnya yang harus disiapkan. Hanya mikrofon, penyangga mikrofon, gitar putih, dan dua kabel untuk mikrofon dan gitar. Dirga menjelaskan secara singkat mengenai persiapan. Revan hanya perlu menancapkan satu ujung kabel ke gitar dan ujung lainnya ke kotak hitam di panggung, yang Dirga sebut sebagai "monitor speaker", serta melakukan hal yang sama untuk mikrofonnya. Setelahnya, gitar listrik ini siap dipakai. Meski kemarin dia sudah memainkannya, Revan tetap saja terkagum-kagum dengan betapa kerasnya suara gitar ini.

"Lo kalau mau nyiapin lagu-lagu yang mau lo mainin sekarang juga boleh," ujar Dirga ketika melihat Revan sudah asyik memainkan beberapa kunci dasar, "tapi nanti nunggu agak ramai juga boleh. Biasanya gitu, sih. Biar agak ramai dulu, baru lo main."

"Oke."

"Dan, oh, pengetahuan lagu lo cukup luas, kan? Siapa tahu ada pelanggan yang pengin dinyanyiin lagu apa, gitu."

"Kebanyakan lagu pop Indonesia, sih, kalau pakai bahasa lain, gue nggak tau," Revan mendongak. "Gue cuma harus nyanyi aja, kan, nggak harus ngomong apa-apa?"

Revan mendadak panik. Jelas panik. Meskipun selama ini Revan sudah sering bernyanyi di hadapan publik, dia belum pernah harus berada di depan panggung dan mengajak penontonnya berbicara. Bagaimana jika dia harus mengatakan sesuatu selagi dia memilih lagu? Bagaimana jika ada pelanggan yang memintanya menyanyikan lagu yang tidak dia ketahui? Bagaimana jika ada pendengar yang membenci suaranya?

Baru disadarinya jika menyanyi di panggung jelas sangat berbeda dengan mengamen. Kepanikan seketika menguasai Revan.

"Jangan demam panggung gitu." Dirga menepuk bahu Revan. "Kemungkinannya kecil, sih. Kebanyakan pelanggan juga pasti nggak peduli lo ngapain di atas panggung. Mau nari, kek, manggil setan, kek, mereka semua bodo amat. Yah, mungkin kalau setannya beneran dateng, mereka takut."

Revan mendengus. Dirga hanya menyeringai.

"Lo pasti nangkep apa maksud gue," lanjut Dirga kemudian. "Tenang aja. Lo pasti bisa tampil bagus."

Benar, Revan harus tenang. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Jika dia ingin jadi penyanyi terkenal yang akan menampilkan pertunjukkan keren di hadapan para penggemar, dia harus mulai membiasakan diri berada di atas panggung. Pekerjaan ini jelas akan sangat membantunya melatih kepercayaan dirinya.

Demi kariernya besok. Revan terus berusaha meyakininya. Dia akan mencapai mimpinya.

Setelah memastikan gitarnya itu bisa menyala dengan baik, Revan meninggalkan panggung dan membantu para staf di dapur untuk beberapa saat. Banyak pelanggan yang baru datang pukul setengah sebelas. Dengan adanya sekitar sepuluh orang dan empat meja yang terisi, Revan berjalan ke panggung kecil itu. Dia duduk di atas kursi tinggi, memeluk gitar, dan mengarahkan mikrofon ke arahnya. Dimainkannya beberapa kunci asal sebagai pemanasan.

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang