Revan diperbolehkan keluar keesokan paginya, entah jam berapa. Yang jelas, saat dia bangun, pintu kamarnya sedikit terbuka. Seporsi nasi goreng dan segelas susu cokelat diletakkan di atas nakas—kemungkinan besar Leah yang meletakkannya di sana. Ibunya itu selalu merasa bersalah karena tidak membela Revan saat dihajar Dadan, tapi tetap saja, dia tidak mengubah sikapnya.
Sudahlah, perut Revan berbunyi keras sekali. Tidak ada gunanya mengutuki Leah dan segala perilakunya. Dia cukup senang sudah ada makanan yang bisa memberinya tenaga untuk menjalani hari.
Revan berusaha bangun. Perutnya mengirim sinyal kesakitan setiap kali dia bergerak. Saat dia hendak menyentuh lukanya, sebuah kertas kaku menggesek kulitnya, membuatnya mengerang. Revan membuka tangannya, baru sadar dia meremas kartu nama Sasha sejak tadi malam.
Ah, benar, hari ini dia harus kabur. Dia akan mencoba menelepon nomor ponsel Sasha yang tertera di sana nanti, entah bagaimana caranya. Seharusnya tidak terlalu susah. Tapi sesusah apa pun, Revan akan berusaha tetap mencari jalan. Dia sudah tidak tahan lagi.
Revan menghabiskan sarapannya secepat yang dia bisa. Rahangnya yang terasa begitu sakit saat digerakkan adalah satu-satunya hambatan untuk menghabiskan sarapannya dalam lima menit. Nasi goreng ini cukup enak, meski dia masih belum bisa melupakan rasa nasi bungkusan yang diberikan Sasha waktu itu.
Seluruh badan Revan masih terasa sakit saat dia menggerakkan semua badannya. Rasanya dia ingin tidur seharian, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Selain karena dia sudah ingin hengkang saja dari tempat ini, si bos kampret juga pasti tidak suka jika dia hanya berdiam diri di kamar saja. Dia tidak akan peduli separah apa pun kondisi anak buahnya—kadang, semakin mengenaskan akan semakin baik karena mereka bisa memanfaatkannya untuk mendapat belas kasihan orang-orang.
Hari ternyata sudah siang—jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat saat dia akhirnya hendak berangkat mengamen. Matahari sudah bersinar begitu terangnya, membuat Revan segera menutupi matanya. Dari depan kamarnya, Revan menatap perkampungan kumuh yang mengelilingi rusun. Orang-orang kotor bersembunyi di daerah ini. Dia tidak sabar untuk segera kabur.
Revan diantarkan ke tempatnya mengamen oleh seorang supir angkutan umum yang juga hendak berkeliling. Si supir maupun kernetnya, yang sama-sama anggota organisasi, tidak bertanya macam-macam melihat bibir Revan yang terluka atau pipinya yang lebam. Setelah diturunkan, dia mulai mencari orang yang cukup berbaik hati untuk meminjamkan ponsel.
Seorang tukang bakso di pinggir jalan menarik perhatian Revan. Dilihat dari penampilannya yang sederhana dan apa adanya, orang itu bisa dipercaya. Tipe laki-laki paruh baya dengan wajah lembut; seorang kakek yang menyayangi cucu-cucunya. Revan ingin punya kakek seperti itu.
"Permisi, Pak, boleh saya pinjam telepon?" tanya Revan.
Tukang bakso itu menoleh dan tersenyum. Dia menyerahkan ponsel butut yang sedang dipakainya. "Tentu, pakai saja, Nak."
"Terima kasih, Pak."
Setelah menerima ponsel itu, Revan berjalan agak menjauh. Diketikkannya nomor Sasha di sana, lalu meneleponnya. Semoga saja Sasha mengangkatnya. Penantian lama yang dia rasakan membuatnya gelisah, tapi untungnya tak berapa lama kemudian, Sasha mengangkatnya.
"Halo?" sapa cewek itu.
"Uh, ini Sasa Widjanarko?" tanya Revan memastikan. "Relawan Lentera Damai?"
"Sasha, bukan Sasa." Cewek itu membalas sambil tertawa. "Maaf agak lama diangkatnya, tadi baru di kelas. Ini siapa, ya?"
Revan terdiam. Bagaimana cara memperkenalkan diri pada Sasha? "Gue... salah satu pengamen yang lo kasih makanan dulu. Yang sempet nolak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Theory of the Universe
Roman d'amourSasha punya teori tentang semesta: ia bekerja sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh umat manusia. Revan punya teori lain: semesta bekerja sedemikian rupa untuk mencelakakan semua orang. Namun, semesta punya teori berbeda mengenai cara dunia bekerja...