Evidence 15: A Property

354 65 34
                                    

Suasana di dalam van begitu sepi. Baguslah. Revan tidak repot-repot meramaikan suasana, karena dia tahu persis apa yang akan dia hadapi begitu sampai di rusun. Melarikan diri juga merupakan pilihan yang mustahil karena Mped dan Barga duduk mengapitnya. Lebih baik dia menyimpan energinya.

Sebagian dirinya menyesal kenapa tidak lari saja. Dirga sudah menawarkan kesempatan itu, kan? Revan seharusnya bisa lari lewat depan, mencoba kembali ke markas Lentera Damai dengan hati-hati. Setelahnya, dia bisa menyusun rencana untuk kabur sejauh-jauhnya. Mungkin ke kota lain. Atau pulau lain. Tempat asing memang, tapi lebih baik daripada kembali lagi ke kondisi yang sebisa mungkin dia hindari.

Meski begitu, Nindi dan cecurut-cecurut Dadan lainnya pasti akan mencarinya ke mana-mana. Dan mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan demi mendapatkan apa yang mereka mau. Revan tahu, mereka pasti akan melukai Sasha hanya untuk mencari tahu di mana dia. Revan lebih benci membayangkannya—melarikan diri dan tidak bisa membantu Sasha kalau-kalau para bajingan ini melukainya.

Kampret. Kalau bisa, Revan ingin menghajar semesta kampret yang sudah membuat takdir kampret seperti ini. Kenapa hidupnya kampret? Kenapa Revan tidak bisa hidup bahagia sebentar saja? Pertanyaan itu tidak akan ada habisnya dan tidak akan bisa dijawab.

Revan menghela napas saat lingkungan jalanan jadi semakin familier. Jalan inilah yang selalu dia lewati setiap pulang mengamen. Jantungnya berdegup semakin cepat dan keras. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Luka-lukanya kembali memerih meski sebagian sudah mengering. Tanpa sadar, Revan menggertakkan gigi, berusaha menahan sakit yang bahkan belum dia rasakan.

"Takut?" tanya Nindi—nada suaranya justru terdengar bahagia. "Serius, Van, gue sebenernya kasian sama elo. Biar gimanapun, lo adek gue. Masalahnya, lo emang pantes dihukum. Ini semua akibat dari kesalahan yang lo perbuat. Dadan nggak bakalan ngehukum lo kalau lo nggak bandel."

"Dihukum beda dengan dipukuli hingga nyaris mati," balas Revan dengan segala kepahitan yang dia punya. "Lucu, tau. Gue dibawa balik ke sini cuma buat dibunuh."

"Lo nggak akan mati, Sayang." Nindi tersenyum. "Dadan masih terlalu sayang sama lo."

Meski begitu, Revan ingin berdoa supaya dia mati saja. Toh, mengingat betapa jahatnya semesta padanya, mati bukanlah akhir yang ditentukan untuknya. Setidaknya, bukan akhir yang bisa dia dapatkan hari ini. Sepertinya tulang retak atau patah adalah akhir yang paling memungkinkan dari hukuman itu, jika mengingat hukuman yang dulu dia dapatkan setelah mencoba kabur.

Satu yang tidak dapat Revan pahami: kenapa Dadan menginginkannya kembali? Revan sangat yakin dia bukan pengamen terbaik—yang, sebenarnya, tidak dia ketahui pasti, karena Dadan tidak membuat penghargaan bulanan seperti Pengamen Bulan Ini atau apa. Apakah karena statusnya sebagai anak? Sepertinya tidak, karena jika status itu penting, Dadan tidak akan memperlakukannya dengan semena-mena.

Apa pun alasannya, Revan bisa menanyakannya langsung. Rusun sudah di depan mata. Van ini berhenti persis di depan jalan masuk untuk menurunkan penumpangnya. Mped dan Barga memperlakukan Revan seolah narapidana—kedua lengan Revan dipegangi erat, mencegahnya untuk kabur. Kekuatan dan langkah-langkah lebar mereka membuat Revan tersandung berkali-kali, susah payah menyamai langkah mereka saat menaiki tangga.

Tak dinyana, Revan takut. Meski begitu, dia tidak bisa mengelak. Jam di dinding tiba-tiba saja berbunyi begitu keras, menghitung detik-detik yang berlaku. Seakan mengejek Revan. Tik. Waktumu sudah dihitung. Tik. Kau akan mati. Tik. Waktumu sudah habis. Revan mengalihkan pandangan, berusaha mengabaikan suara itu.

Nindi mengetuk pintu ruangan Dadan. Mendengar lagi suara Dadan membuat bulu kuduk Revan berdiri. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mendorongnya untuk melarikan diri. Mungkin seperti kambing yang tahu kalau sebentar lagi dia akan mati. Revan ingin memberontak—siapa tahu berhasil, kan? Siapa tahu dia bisa lepas. Tapi dia tahu, Mped dan Barga terlalu kuat. Dan sama seperti kambing itu, Revan tidak bisa lari.

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang