Evidence 2: Rough Life

439 90 12
                                    

Sebenarnya, Revan benci bekerja di akhir pekan—yah, setidaknya, dia ingin dapat satu hari libur, terserah hari apa saja. Tapi itu hanya impian yang tidak mungkin terlaksana. Bos kampret memang suka memeras semua anak buahnya hingga titik keringat penghabisan. Karena itulah Revan ada di jalan yang sama yang dilihatnya setiap hari selama dua tahun belakangan. Menggenjreng lagi gitarnya demi mendapatkan uang receh.

Dia banyak memperhatikan orang-orang yang melewati jalan itu, selagi mengutuki semesta yang tidak mau memberikan kehidupan yang sama baiknya. Dua orang di atas motor itu sedang pacaran—si cewek melingkarkan tangan di pinggang si cowok. Anak kecil di mobil putih itu tertawa senang, begitu pula wanita di balik kemudi. Pria di mobil itu mengetikkan sesuatu di ponselnya. Jam tangannya berkilat-kilat terkena sinar matahari.

Seandainya Revan punya kehidupan yang lebih baik, mungkin dia yang sekarang pinggangnya dipeluk perempuan cantik. Mungkin dia yang tertawa bersama temannya di dalam mobil yang dingin. Dia akan punya jam tangan yang bagus dan ponsel keluaran terbaru. Tapi, karena semesta benci padanya, Revan diberikan kehidupan yang dia punyai sekarang; yang hanya bisa memperhatikan manusia-manusia yang lebih disayang semesta itu dengan iri yang semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.

Semesta kampret.

Matahari sudah agak tinggi. Hari ini cerah sekali, tidak terlihat awan sedikit pun. Rasanya Revan cuma ingin berteduh di bawah pohon sambil mengipasi dirinya. Namun, dia masih sadar diri untuk terus mengamen supaya tidak dihukum. Dia memaksa kakinya berjalan menyusuri jalan.

Berdua bersamamu mengajarkanku apa artinya kenyamanan, kesempurnaan cinta....

Revan tidak pernah merasakan sisi nyaman dan sempurna dari cinta. Dia bahkan tidak yakin dia dicintai—dalam konteks apa pun yang mungkin terjadi. Punya ayah kampret, ibu yang tidak peduli, dan kakak berengsek sudah cukup sebagai buktinya. Dia dipaksa bekerja keras di sini, mengeluarkan peluh berlebihan demi uang yang tak seberapa, dan tidak ada yang cukup kasihan padanya untuk menolongnya.

Mungkin memang harusnya Revan menolong dirinya sendiri, tapi dia tidak seberuntung itu. Usahanya dulu sia-sia. Daripada dia dihukum oleh si bos kampret, mending Revan tidak mencoba, hingga saat yang lebih tepat datang. Entah kapan. Semoga saja, kesempatan itu ada. Revan tidak mau seumur hidupnya dihabiskan dengan mengamen untuk seorang bos kampret.

Lampu berganti hijau. Revan melompat ke median jalan. Selagi dia menyusurinya untuk kembali ke depan, seseorang memanggilnya. Revan buru-buru mendekap tas yang dia bawa. Dia tidak mengenali suara itu, tapi sebaiknya berjaga-jaga. Semesta suka mengganggunya. Dia sudah terlatih bersikap defensif.

"Hei. Gue lagi ada acara bagi-bagi makanan dari organisasi sosial Lentera Damai, dan gue pengin ngasih lo makanan ini."

Pundak Revan ditepuk. Dia melirik orang itu. Seorang cewek tersenyum lebar, membawa sebuah kresek hitam yang diulurkan padanya. Dari penampilannya, cewek itu tampak terawat. Bajunya bersih, dan sekilas, Revan mencium wewangian menguar dari cewek itu.

Revan berpaling. Dia tidak boleh lengah. Penampilannya boleh oke, tapi Revan tidak tahu apa niat cewek itu.

"Nggak butuh," balasnya kaku.

"Nggak baik menolak bantuan." Cewek itu mengikuti Revan berjalan ke arah perempatan. "Ini gratis, kok. Lo nggak perlu bayar."

Astaga, cewek itu tidak mudah menyerah. Revan mengabaikannya, berusaha tetap fokus pada apa pekerjaannya. Semesta tidak mungkin sebaik itu. Cewek ini pasti ada maunya. Daripada Revan terjebak, lebih baik dia menolak apa pun yang ditawarkan padanya.

"Nggak butuh."

"Yakin? Lo cari uang juga pasti buat makan, kan? Mending lo simpen uang lo dan terima makanan ini."

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang