Sasha tidak menceritakan pada siapa pun pertemuannya dengan Revan karena dia masih kesal. Dia kesal hampir pada semua orang—pada Dirga, yang ternyata tidak seperti yang Sasha kenal selama ini. Pada dirinya sendiri, yang tidak mencoba merencanakan jalan keluar bagi Revan yang lebih aman. Terlebih, Sasha kesal pada Revan, yang hanya pasrah menerima keadaan tanpa mengupayakan sesuatu.
Kekesalannya muncul pada setiap kegiatan yang dia lakukan. Sasha yakin, dia tidak fokus saat pelajaran dan tidak maksimal dalam mengerjakan tugasnya, karena siang ini, Naya menyeretnya ke perpustakaan. Hanya mereka berdua, tanpa Yasmin atau Mikaela. Yang artinya, Naya mengkhawatirkan Sasha. Begitu mereka bisa mendapatkan tempat yang cukup sunyi, Naya segera meminta penjelasan Sasha.
"Lo lagi nggak fokus," Naya menegaskan, alih-alih meminta konfirmasi. "Kenapa?"
Sasha tidak mungkin bisa menyembunyikan masalahnya dari Naya—kemampuan Naya mendeteksi sesuatu yang salah tidak tertandingi oleh siapa pun yang pernah Sasha temui. Sasha merasakan tenggorokannya tersumbat meski dia ingin mengeluarkan perasaannya.
"Ini soal Revan?" tanya Naya. "Gue tahu akhir-akhir ini lo lagi ada masalah sama dia."
Sasha mengangguk. "Gue udah ketemu dia. Sabtu kemarin."
"Terus?"
"Terus.... Oke, lo harus tahu kalau semesta itu kampret." Sasha merasakan sumbat di tenggorokannya tercabut begitu dia mengucapkannya. "Bang Dirga kampret. Revan kampret. Semua orang kampret." Sasha diam sebentar sebelum melanjutkan, "Kecuali elo. Makasih udah nanya."
Naya sepertinya sedang berusaha memproses keadaan. Sasha hanya tersenyum tipis. Wajar saja Naya kaget. Sasha tidak pernah mengumpat sebelumnya—setidaknya, tidak secara verbal. Butuh sesaat sebelum Naya berhasil memberikan balasan.
"Masalah apa yang bisa membuat lo, manusia paling lurus yang pernah gue kenal, mengumpat kayak gitu? Yah, walaupun umpatan lo masih tergolong kalem menurut gue."
"Revan marah sama gue. Dia nyaris nggak mau ngomong sama gue, dan dia juga menolak bantuan gue. Bisa dipahami, sih, berhubung gue merusak harapan dia untuk bisa keluar dari organisasi jahat yang selalu dia bilang itu. Tapi harusnya dia tahu kalau gue cuma ingin menolong dia."
Naya menepuk tangan Sasha. "Iya, lo nggak mungkin dengan sengaja menjerumuskan dia."
Balasan Naya membuat Sasha lanjut bercerita panjang tentang masalahnya. Naya adalah orang yang akan Sasha datangi jika dia butuh mengeluarkan unek-uneknya karena Naya paham. Dia membalas tanpa menghakimi, mendengarkan tanpa menyela, dan menghiburnya tanpa berusaha menyelipkan ceritanya sendiri. Benar-benar apa yang Sasha butuhkan saat emosinya sedang membeludak seperti saat ini.
Saat cerita Sasha usai, Naya mengangguk dalam pengertian. "Terus, sekarang, apa yang akan lo lakukan?"
"Entahlah," Sasha menghela napas. Naya memang membantu Sasha menguraikan emosinya dan menata pikirannya, tapi bukan orang yang akan Sasha mintai nasihat untuk masalah seperti ini. "Mungkin nanti gue tanya Pak Tim. Atau nyokap gue."
"Tapi lo tahu kan, Sha, kalau ini bukan salah lo?" Naya berhenti sejenak, menatap Sasha penuh selidik. "Lo udah melakukan yang terbaik. Bukan salah lo kalau ternyata semesta mengacaukan rencana lo. Ada maksudnya rencana lo harus dirusak."
"Gue tahu, tapi... kenapa?"
Naya mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin Revan harus cari jalannya sendiri. Mungkin kalian berdua harus belajar sesuatu dari kejadian ini. Banyak alasan—dan kita mungkin nggak akan pernah tahu apa alasan sesungguhnya."
Sasha memikirkannya. Perkataan Naya ada benarnya. Segala sesuatu di dunia ini terjadi untuk alasan tertentu. Manusia seringkali terlalu terfokus pada rencananya sendiri sehingga tidak bisa memahami alasan lain ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Theory of the Universe
Roman d'amourSasha punya teori tentang semesta: ia bekerja sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh umat manusia. Revan punya teori lain: semesta bekerja sedemikian rupa untuk mencelakakan semua orang. Namun, semesta punya teori berbeda mengenai cara dunia bekerja...