Kantor pusat Lentera Damai tidak terlalu jauh dari UI. Termasuk macet, perjalanan hanya tiga puluh menit. Revan awalnya tidak percaya tempat ini adalah kantor pusat organisasi sosial yang bakal membantunya. Ayolah, tempat ini terlihat terlalu sederhana! Dia membayangkan tempat ini akan sangat berlawanan dengan rusun kumuh tempat tinggalnya selama ini—markas organisasi penolong ini pastilah besar, megah, bersih, dan penuh kehangatan.
Yah, oke, tempat ini masih jauh lebih baik ketimbang rusun kampret itu. Revan sebaiknya tidak protes lebih lanjut. Siapa tahu semesta malah kesal dan mengambil kesempatan ini darinya dengan cara yang tidak terduga. Dia diam saja saat mengikuti Sasha masuk ke dalam.
Mereka memasuki sebuah ruangan besar berisi dua sofa bermotif dan sebuah meja kayu di tengahnya. Sasha melewatinya begitu saja, berjalan menuju sebuah pintu yang terletak di ujung lain ruangan. Setelah mengetuknya dan mendapatkan balasan, Sasha memasukinya.
Revan mengikuti. Sekilas lihat, dia langsung tahu tempat ini berfungsi seperti ruangan bos kampret. Pria dengan kepala agak botak yang sedang duduk di balik meja kerja itu pasti bos Lentera Damai. Meski fungsinya sama, ruangan ini tidak mengintimidasi Revan seperti ruangan bos kampret. Ruangan yang didominasi warna putih ini begitu cerah dan menyenangkan.
"Hai, Natasha, apa kabar?" Pria botak itu berdiri dan menyalami Sasha. Dia lalu menoleh pada Revan. "Kamu bawa teman, ternyata. Apa kabar? Sepertinya nggak baik, ya, dilihat dari lukamu."
Revan menyambut uluran tangan pria itu. Tangan besar itu menggenggam tangannya erat. "Begitulah."
"Pak Tim, ini Revan, salah satu pengamen yang ingin ikut gabung ke Lentera Damai," ujar Sasha, dengan sukarela memperkenalkan mereka. "Revan, ini Pak Timotius, ketua dan pendiri Lentera Damai."
"Ayo, duduk di sofa saja sambil bicara."
Pak Tim menepuk pelan punggung Revan seraya mengajaknya duduk di sofa. Revan tidak meragukan jaminan Sasha tadi—sejauh ini, semua orang di Lentera Damai memang tidak ada yang kampret, meski dia baru bertemu dua orang relawannya. Sikap Pak Tim begitu terbuka padanya; tersenyum hangat dan tidak ragu menepuknya dengan cara yang bersahabat. Ragu yang bercokol di pikirannya seketika lenyap.
"Jadi, sekarang ini, kamu ngamen tiap hari?" tanya Pak Tim, terdengar sedikit retoris (mengingat gitar yang sedari tadi masih menempel di badan Revan, haruskah dia bertanya seperti itu lagi?).
Revan mengangguk. "Ngamen di jalan dan warung-warung makan, soalnya saya harus kasih setoran ke bos saya. Harus mencapai target. Kalau gagal, bos kampret itu nggak akan ragu buat ngasih hukuman."
"Seperti satu-dua tonjokan?"
"Tepat."
"Bos seperti itu memang kampret," balas Pak Tim dengan ekspresi serius yang justru membuat Revan ingin tertawa. "Karena itu kamu kabur dari dia. Itu keputusan yang sangat baik."
"Saya berharap Bapak bisa membantu saya."
Pak Tim tersenyum. "Tenang saja, itu tugas utama Lentera Damai. Kami memang berfokus pada menolong banyak orang yang membutuhkan bantuan kami, terutama orang-orang yang tinggal di jalanan. Pengamen, pemulung, supir bus—siapa pun yang mencari peruntungan di ibu kota dan belum menemukannya. Orang-orang sepertimu, Revan."
"Banyak kok, yang pada akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik," Sasha menimpali.
"Benar. Kami menyediakan tempat tinggal di belakang, yang bisa kamu gunakan untuk sementara waktu sampai kamu bisa mencari tempat tinggal sendiri. Selain itu, kami juga mengadakan beberapa pelatihan keahlian tertentu, yang bisa mempersiapkan kamu untuk dunia kerja. Kamu bisa pilih pelatihan yang kamu mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Theory of the Universe
RomanceSasha punya teori tentang semesta: ia bekerja sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh umat manusia. Revan punya teori lain: semesta bekerja sedemikian rupa untuk mencelakakan semua orang. Namun, semesta punya teori berbeda mengenai cara dunia bekerja...