Evidence 3: Not A Coincidence

448 91 22
                                    

Kuliah Sasha hari ini hanya di pagi hari, dan praktikum sudah selesai jam empat. Sasha bergegas pergi ke kantor Lentera Damai. Dia sudah berjanji akan membantu di sana hari ini.

Sasha sebenarnya tidak wajib pergi ke Lentera Damai setiap hari—sebagaimana konsep sukarelawan pada umumnya, dia tidak diwajibkan atau dipaksa melakukan apa-apa, termasuk apabila janjinya sekarang entah bagaimana teringkari. Meski begitu, Sasha dengan senang hati membantu. Memang, untuk tetap bisa menjadi sukarelawan, mahasiswa yang bertanggung jawab, dan gadis muda yang aktif bersosialisasi dengan temannya, Sasha kerap kali kehabisan waktu untuk tidur atau melakukan kegiatan lainnya, tapi sejauh ini, dia masih menikmati ritme hidupnya.

Lentera Damai, seperti biasa, tidak terlalu ramai. Sasha memarkirkan motor, lalu bergegas menuju ke dalam. Di ruang tamu, Pak Tim dan dua orang lainnya, yang kemungkinan besar adalah penghuni indekos, sedang berbicara. Sasha tidak mengenali mereka, karena beberapa dari mereka sibuk bekerja dan jarang ada di markas. Saat pulang dari bekerja pun, jarang ada yang bersosialisasi di luar, baik dengan sesama penghuni maupun dengan sukarelawan.

"Selamat sore," sapa Sasha saat memasuki ruangan. "Wah, sedang ramai."

"Hai, Sasha," balas Pak Tim. "Mau gabung?"

Sasha duduk di sebelah Pak Tim, tersenyum pada dua orang di hadapannya. "Baru ngobrolin apa, Pak?"

"Soal kerjaan, biasalah." Salah satu dari dua orang itu menyahut—logatnya cukup kental, tapi Sasha tidak mengenali logat itu. "Jadi supir bus di Jakarta, ya, capek juga. Wong macet di mana-mana."

"Mas Joko tumben pulang cepet," sahut Pak Tim.

Pria yang dipanggil Joko—yang punya logat kental itu—mengangguk. "Iya, Pak, nyut-nyutan e kakiku. Mending tak izin ae. Lha ini, Arga juga belum berangkat?"

"Teu acan, Mas, shift saya masih jam enam. Kepagian kalau berangkat sekarang, mah." Arga menyeringai. Dia menoleh pada Sasha. "Ieu teh neng—Neng Sasha, ya?—relawan?"

"Iya, saya relawan," sahut Sasha sambil tersenyum. "Saya diajak bantu masak-masak di sini."

"Wah, mesti enak." Joko menepuk perutnya. "Kebetulan saya laper. Ditunggu, Mbak."

Sasha tertawa sopan. "Ah, kalau begitu, lebih baik saya ke dapur. Mari, Pak, Mas."

Setelah keluar dari ruang tamu, Sasha bergegas ke dapur. Ibunya sudah ada di sana, sedang memotong daun bawang tipis-tipis. Sasha mendekati meja, meneliti bahan yang sudah tersedia. Tampaknya, menu sore ini adalah sup ayam. Terdapat dua sukarelawan lain, Mas Yoga dan Mayang, yang sedang bekerja sama mencuci piring dan gelas. Mereka hanya menyapa sekadarnya.

"Hei, Sha," sapa Mama selagi menoleh. "Sini, bantuin potong daging ayamnya."

"Untung nggak terlambat," balas Sasha. "Macet banget, Ma, di mana-mana. Jadinya tadi aku panik bakal telat sampai sini dan nggak sempet bantuin. Soalnya jam enam aku juga udah janjian sama temenku."

"Sama Naya?" Mama tersenyum. "Nggak apa-apa, kamu bantuin sebentar juga udah membantu banget. Hari ini banyak yang nggak bisa dateng."

Sambil bercerita soal kuliahnya hari ini, Sasha memotong dadu daging ayam yang tersedia di sana. Dia memang lebih dekat dengan ibunya ketimbang dengan ayahnya, terutama karena jam kerja ayahnya yang tidak teratur. Mama memang sibuk, tapi selalu berusaha meluangkan waktu untuk berbicara pada Sasha, sehingga Sasha lebih leluasa menceritakan banyak hal pada Mama.

Dalam banyak hal, Mama menjadi panutan Sasha. Sejak kecil, Sasha selalu ingin jadi seperti Mama—punya pengaruh bagi banyak orang, namun tidak pernah menyalahgunakannya. Selain itu, Mama juga tidak pernah ragu merogoh kantong untuk menolong orang-orang, tidak peduli berapa banyak uang yang harus dia keluarkan untuk itu. Mama sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan Sasha ingin mencapainya juga.

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang