Evidence 18: An Offer

282 54 9
                                    

Ini hari Minggu, dan Etimologi terasa begitu sepi. Meja-meja penuh, pelanggan tetap banyak seperti biasanya. Dirga mengelap meja dan peralatannya sambil bertanya-tanya apa yang salah.

Dengan cepat dia menemukan jawabannya: absennya Sasha dan suara nyanyian Revan.

Dirga menghela napas. Sudah beberapa minggu Revan tidak muncul. Beberapa pelanggan menanyakannya. Dirga bilang pada semua orang, baik pelanggan dan karyawan lain, bahwa Revan sudah pindah ke kota lain. Tapi, sesungguhnya, Dirga yakin Revan masih ada di Jakarta. Entah di mana. Dan satu-satunya orang yang masih aktif mencari keberadaan Revan sudah tidak ingin berbicara padanya.

Sasha nyaris tidak pernah absen datang ke Etimologi pada hari Minggu. Dirga bahkan tidak ingat Sasha pernah izin tidak datang sekali pun—yang, sebenarnya, juga tidak masalah, karena Dirga sudah punya cukup pegawai sekarang. Namun, sekarang, semenjak Sasha tahu kalau Dirga punya andil besar dalam menggagalkan rencananya, frekuensi kedatangan Sasha berkurang begitu drastis. Dan ini kali pertama Sasha tidak datang di hari Minggu.

Biasanya, Sasha datang tiga kali seminggu. Sejujurnya Dirga sendiri heran kenapa Sasha tidak pernah bosan datang, tapi Sasha menjadi sebuah konstan yang menyenangkan. Sejak Revan dibawa pergi oleh Nindi, Sasha hanya datang seminggu sekali—itu pun, dia lebih banyak berbicara pada Jericho. Dirga seringkali diabaikan. Sasha bilang tidak ada apa-apa, tapi Dirga tahu sesungguhnya kesalahannya belum dimaafkan.

"Jer, Sasha nggak dateng?" tanya Dirga saat Jericho menghampirinya.

"Mau ngerjain tugas sama Naya katanya," ujar Jericho, yang kemudian meletakkan menu di meja. "Iced green tea latte satu, Bang."

"Lo masih sering ngobrol sama dia, nggak?"

Jericho menggeleng. "Kemarin gue sempet ngajakin ketemuan di kampus, tapi dia nggak bisa. Sesekali gue nge-chat, tapi dia cuma cerita soal kuliahnya. Gue ajakin ke sini, bilangnya sibuk. Dia lagi ada masalah?"

Dirga terdiam, selagi menyiapkan pesanan. Dia tidak tahu cara menjelaskan masalahnya. Terlebih, dia sedang tidak punya tenaga untuk itu. Selagi menuangkan green tea latte ke sebuah gelas kaca, Dirga membalas, "It's complicated, tapi dia lagi marah sama gue. Lo tetep punya kesempatan kok, santai."

"Bukan itu," Jericho mendengus. Diambilnya minuman yang sudah dihidangkan Dirga sambil membalas, "Tempat ini jadi sepi banget tanpa Sasha dan Revan. Rasanya aneh."

Dirga menyadari itu juga. Dia hanya tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. Pesannya pada Sasha tidak kunjung dibaca, balasannya pun pendek-pendek. Dirga sudah kehabisan ide untuk memperbaiki hubungannya, dan sekarang dia hanya pasrah. Sasha masih marah—atau mungkin kecewa. Dirga tidak tahu mana yang lebih buruk.

Selagi menyiapkan pesanan lain, sudut mata Dirga menangkap pelanggan baru memasuki toko. Tidak biasanya Dirga bisa melihat Nandani di akhir pekan—jika tidak bekerja, hari Minggu Nandani dihabiskan di Lentera Damai. Karena itu dia nyaris tidak mempercayai matanya saat bibinya itu berjalan menghampirinya.

"Halo, Dirga," ujar Nandani sambil tersenyum. "Americano satu, ya. Dan apa pun yang ingin kamu minum. Tante tunggu di atas, bisa?"

Nandani adalah jenis wanita yang selalu lembut dan sabar, tapi untuk saat-saat seperti sekarang ini, dia tidak pernah meminta; dia memerintah. Dirga tidak punya pilihan selain mengiyakan. Dia lalu membuat secangkir americano dan mango squash, lalu menyuruh Jericho menggantikannya. Dirga merasa seperti anak kecil yang baru saja memecahkan kaca jendela tetangganya dan sedang akan dimarahi oleh orangtuanya.

"Tumben nggak di resto, Te," ujar Dirga seraya meletakkan minuman di atas meja.

"Sesekali butuh refreshing, kan?" balas Nandani. "Kamu sendiri, nggak pengin ambil day off sebentar, gitu?"

The Theory of the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang