Bagian Sebelas

3K 132 5
                                    

“Kita sering dipertemukan bukanlah karena kebetulan, melainkan sebuah takdir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kita sering dipertemukan bukanlah karena kebetulan, melainkan sebuah takdir.”

🍁

Keesokan paginya, Shila harus pergi ke sekolah dengan bus yang dikendarai pak Ahmad. Ini disebabkan karena sepedanya yang tidak bisa diperbaiki lagi. Meskipun rasanya kesal, Shila tetap tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya.

Shila dan Richa duduk di depan karena sekolah mereka yang akan sampai terlebih dahulu. Sedangkan anak-anak lain mengisi bangku di belakang mereka seperti biasa.

 “Ayah, Ayah, sampai sini aja.” Dengan terburu-buru Richa menyuruh pak Ahmad untuk menghentikan busnya beberapa meter dari halte. Jangankan dekat dengan sekolah, jaraknya dengan halte saja masih jauh sekali.

 “Kenapa—” ucapan pak Ahmad menggantung karena Richa sudah turun terlebih dahulu. Lalu lelaki paruh baya itu menoleh pada Shila.

 “Kamu mau turun di sini juga, Shil?” tanyanya sebelum menjalankan bus kembali.

 “Enggak, Ya. Kalo bisa aku diturunin di depan gerbang aja. Soalnya kalo di halte masih jauh juga,” sahut Shila yang kini mengalihkan pandangannya dari Richa ke pak Ahmad.

Richa pasti malu kalo ketahuan naik bus. Richa, Richa, kamu kenapa jadi gini, sih? kasian ibu sama ayah, batin Shila.

Tak seberapa lama, bus kembali berhenti tepat di depan gerbang Purnama's high school sesuai permintaan Shila tadi. Gadis itu mencium tangan pak Ahmad, baru setelah itu turun dari bus.

Seperti biasa, Shila akan menyusuri koridor gedung A lantai 1. Kemudian naik lift, menyusuri koridor lagi sampai ke ujung, sampai akhirnya dia berakhir di kelas  yang bernamakan sebelas IPA sepuluh.

 “Cerah amat muka lo. Enggak kayak biasanya,” celutuk Joey yang mulai mengekor di belakang Shila seperti anak ayam.

 “Perasaan hidup gue serba salah, deh. Seneng salah, entar pas gue marah-marah juga salah. Dasar netijen, banyak koment lo,” sembur Shila tak kalah menohok. Membuat teman-temannya yang lain langsung menyoraki pemuda itu.

 “Biasalah, kan, gue netijen di negara berkembang. Mulut doang yang maju.” Perkataan Joey barusan lebih ke menyindir dan menyinyir. Tidak salah memang saat Shila menyebutnya netizen.

“Ekhem!”

Suara deheman yang seperti dibuat-buat itu membuat semuanya menoleh. Mereka langsung mencari tempat duduk, dan diam tak berkutik. Pasalnya, deheman  itu berasal dari guru yang paling di takuti seantero Purnama's high school.

 “Shila,” panggil Bu Atikah pelan.

 “Say-ya, Buk?” tanya Shila yang menjadi gagap sendiri. Gadis yang terkenal paling pemberani dalam kelas itu saja, bisa sangat gugup saat berhadapan dengan Bu Atikah.

Kisah Shila [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang