Bagian Dua puluh Empat

2.5K 102 4
                                    

"Jika ini memang sudah takdirnya, apalagi yang harus di lakukan selain menerima semua itu? Memang sulit, tetapi kita tidak akan pernah bisa mengubah hal yang sudah digariskan, bukan?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika ini memang sudah takdirnya, apalagi yang harus di lakukan selain menerima semua itu? Memang sulit, tetapi kita tidak akan pernah bisa mengubah hal yang sudah digariskan, bukan?”

🍁


Awan mendung menghiasi langit kota Jakarta pagi ini. Sama halnya dengan hati dan perasaan Shila. Seolah semesta tahu bagaimana perasaannya.

Tok tok tok

Shila menoleh, mendapati sang Oma yang tersenyum ke arahnya. "Sudah siap?" tanya wanita itu, dan Shila hanya mengangguk.

Setelah Bu Dewi kembali keluar dari kamarnya, Shila menatap nanar ke arah koper yang sudah terisi dengan baju dan semua keperluannya. Ya, Shila memutuskan untuk ikut bersama sang Oma setelah pergulatan batin selama dua hari.

Mau bagaimanapun, Shila tetaplah bagian dari mereka. Darah papanya mengalir deras dalam tubuhnya. Mau menyangkal pun rasanya tidak berguna, takdir tidak bisa diubah.

Sebelum keluar, Shila memandang kamar ini sekali lagi. Kamar yang menjadi saksi bisu bagaimana kerasnya Shila belajar agar mendapatkan beasiswa. Kamar yang menyaksikan dalam diam, saat dia menangis di tengah malam.

Setelah puas memperhatikan kamarnya, Shila menarik koper dan keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya terasa berat untuk keluar dari bangunan ini. Panti, sudah menjadi bagian dalam hidupnya selama tujuh belas tahun ini.

Semua orang telah berkumpul, menunggu Shila untuk keluar. Gadis itu bisa melihat senyum getir yang diperlihatkan oleh Bu Minah, Pak Ahmad dan juga Richa.

Shila langsung memeluk Bu Minah, air matanya tak dapat dibendung lagi. Meski mereka berada dalam satu kota yang sama, tetapi rasanya telah berubah.

"Makasih, Buk. Makasih," lirih gadis itu disela isakannya yang belum reda.

Bu Minah pun tak dapat menahan air matanya. Wanita itu memeluk Shila dengan erat. Baginya, Shila adalah hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Tak pernah terbersit rasa lelah dari dirinya saat merawat Shila, meskipun mereka dalam keadaan susah.

"Makasih karena udah ngerawat Shila, makasih," ulang gadis itu.

Bu Minah melepaskan pelukannya, dia mengusap pipi Shila yang sudah basah. "Ibu yang seharusnya ngucapin makasih karna Shila udah ngisi hari-hari ibu dengan kebahagiaan," sanggah wanita itu.

Setelah berpelukan dengan Bu Minah, Shila memeluk pak Ahmad. Pria paruh baya itu juga tak bisa membendung air matanya. Menangis dalam diam saat gadis yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri itu, akan pergi meninggalkannya.

"Semoga Lo bahagia terus, Shil," ujar Richa saat mereka berpelukan. Setelah ini, gadis itu pasti akan kehilangan saudari sekaligus sahabatnya.

"Lo juga, Cha. Jangan jadi anak yang nakal," peringat Shila. Setelah itu mereka kembali berpelukan. Meski sering bertengkar, tetapi ikatan antara keduanya sudah ada sejak kecil.

Kisah Shila [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang