"gue sempet liat dia sama cewek Fen, cantik deh, kayanya mereka deket"
"siapa? Bawa kamera? Kalo ngga bawa kamera gue ngga kenal deh, lagian nih ya De, udah ga usah suka sama dia, dia terlalu misterius, kalo kaya ngefans gemes-gemes gitu ngga apa-apa dah"
"kalo dia ngga mirip mantan gue juga gue ga bakal suka Fen"
"beneran udah suka?"
"mungkin" "ah udah ah gue mau tidur, ganggu aja lu jenong"
Tut tut tut
Afenia menatap layar ponselnya tak percaya "lah kan yang telepon dia ya, ngapain jadi gue yang ganggu".
Satria arif wijaya, dia mahasiswa ekonomi, tetapi tidak sekelas dengan Ananta, terkadang saja. Yang pasti satu gedung.
Dia yang feni tau pendiam, tetapi bukan pendiam yang menunjukan keputus asaan tentang sesuatu, matanya seperti berbicara saat menatap orang yang sedang berbicara dengannya.
Afenia anak sastra, sama seperti Dea, dan mereka satu kelas. Feni sering memperhatikan laki-laki itu dari gedungnya.
Dan keuntungan feni adalah dia satu organisasi dengan satria.Mata dia indah ya Fen.
Tiba-tiba kalimat yang sempat Dea ucapkan itu terdengar lagi ditelinga feni.
***
"fen, fotografi?" Dea berteriak mendekat feni.
"iya, gue udah telat nih" ucap feni
"ikut yah hehe, ikut jalan aja ga masuk, gue mau nengokin satria" rayu Dea.
Dan yah benar, satria satu organisasi dengan feni, fotografi~
Berada dirooftop sore hari adalah waktu favorit untuk melatih skill membidik feni, dengan sesekali menatap langit yang dia rasa lebih dekat saat berada ditempat ini.
Semua anggota sibuk dengan kamera yang mereka miliki, tiba-tiba ada lampu flash yang feni yakini tertuju padanya.
"hei, masih asik?"
Afenia kikuk, Satria Arif Wijaya.
Sedang mengajaknya berbicara setelah dia mengambil foto dirinya entah untuk apa."eem lumayan sih, tapi udah gelap. Udah ga bagus juga buat hasil dikamera" feni menjawab.
Ini kali pertama feni berbicara dengannya, feni sudah mengetahui sosok satria dari dia masih menjadi mahasiswi baru, tetapi hanya saat ini organisasi mereka sama.
"coba gue liat hasil foto lu" satria mengulurkan tangannya.
"oh iya nih boleh"
Afenia mengamatinya, mengamati mata indah yang seperti Dea ucapkan semalam kepadanya.
yah memang indah.
Buru-buru feni menunduk, agar satria tidak mengetahui kelakuannya yang diam-diam mengagumi setiap inch dari wajahnya.
"sunrise or sunset?" tiba-tiba dia menatap feni.
"ngga bisa dipilih Satria. Tanpa sunrise, ngga akan pernah ada sunset" jawab feni.
Dia tersenyum, manis sekali.
"kok tau nama gue?" Satria menunjuknya.
Afenia diam, mencari alasan yang tidak membuatnya malu.
"gue juga tau nama lu kok---- Afenia rahma" lagi, dia membuat feni diam.
Tadinya feni akan menjawab pertanyaan satria, tetapi isi kepalanya kosong saat lelaki itu menyebut namanya.
"kok- lu juga tau nama gue? Lu tukang absen diorganisasi ya?" tanya feni sebiasa mungkin menutupi ronanya.
"hahaha ngga lah, btw hasil foto lu bagus"
"bagus doang?"
"senja karya lu beda"
"beda kenapa?" feni mulai bingung
"menyimpan yang lu rasain mungkin, setiap hasil bidikan lu menimbulkan reaksi yang berbeda-beda, senyum, sedih, tanpa rasa"
Feni diam.
"bro turun yuk" suara itu berhasil membuyarkan diamnya yang telah jauh merangkak dilorong yang Satria ciptakan. Satria menyodorkan kamera miliknya yang sedari tadi dipinjam, dengan senyum.
***
"tadi gue ngobrol dong sama Satria" feni memulai obrolan malam ini sembari mengaduk teh manis yang dia letakkan dilantai.
"fen, levelan lu beda sama satria, mana mungkin dia mau ngobrol sama lu" ananta tak percaya.
"jahat sekali kau anak ayam" drama feni.
"ngobrolin tentang gue yak fen?" Dea menimpali.
"kepedean lu ngalahin tim sukses partai wahai kakak esDea" feni menjawab
"misterius banget deh orangnya, masa waktu gue sama yang lain turun dari rooftop, dia lari kenceng banget kaya dikejar renternir" feni berbicara dengan tangannya yang masih mengaduk teh yang mulai menghangat.
"ngga lu ikutin fen? Seru tuh ngikutin orang yang lagi dikejar renternir" Dea menghancurkan angan feni yang seperti menyusun susuan puzzle yang sangat sulit.
"yang ada gue dikira adeknya satria koplak, ntar gue yang disuruh tanggung jawab buat bayar utangnya gimana?"
"hahaha muka satria ama muka lu beda jauh jenong, eh tapi dia bikin penasaran ngga si menurut kalian?"
"arwah kali ah" kini ananta yang menjawab.
"ni anak kalo ngomong ngga bismillah dulu yaa, ini malem jum'at ananta sayang, lu tau tukang gorengan yang didepan asrama? Itu istrinya baru meninggal kemaren, ntar disamperin aja kabur lu" feni melotot. Dan hanya dibalas cengiran oleh ananta.
"zaki bilang, dia sempet ngobrol gitu sama satria waktu zaki mau beli obat tetes mata diapotik depan rumah dia, dan ngga sengaja ada satria, terus dia nanya satria kenapa sering banget keapotik, dia jawab karna obat adalah kebutuhan" Dea diam, feni dan ananta menanti kelanjutan cerita Dea.
Satu kedipan mata.
Dua kedipan mata.
.
.
.
."nungguuuiiiinnn yaaaaaa hahaha" Dea tertawa dengan satu tangan berada diperutnya, sangat menyebalkan untuk feni dan ananta.
Semoga kau masih sama seperti kemarin~
***
See you next chapter :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Diam
AcakAfenia Rahma, hanya seorang gadis yang mampu menikmati setiap situasi kecuali jatuh cinta. Memiliki dua sahabat yang berfrekuensi sama adalah keberuntungan baginya. Lalu senja, lensa, dan satria adalah bagian dari kiasan yang mempunyai ribuan makna