Hari Minggu di Jepang. Orang-orang lebih memilih untuk menghabiskan waktu liburannya dengan berwisata. Terlebih saat itu adalah musim semi. Bunga-bunga bermekaran. Namun tidak bagi Tuan Matsunaga dan keluarganya. Mereka lebih memilih bersantai di rumah, menonton televisi dan membaca apa saja yang bermanfaat untuk di baca.
Siang itu, Tuan Matsunaga bersama kedua anak laki-lakinya sedang bercengkrama di ruang makan. Mereka menunggu hidangan leazat yang sedang di siapkan Nyonya Matsunaga.
"Kim, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?"
"Jadi polisi seperti ayah." Kim kecil menjawab dengan polos.
"Ayah bukan sekedar polisi nak, tapi polisi detektif." Tuan Matsunaga menatap Kim dan menggoyangkan jari telunjuknya beberapa senti di depan wajah Kim.
"Hebat!" Kim bertepuk tangan. Sementara Nyonya Matsunaga mengantarkan menu makanan siang ini. Aneka olahan ikan. Ada sushi dan sashimi ikan salmon. Ada juga ikan Tuna. Lengkap dengan wasabinya. Kini di atas meja telah penuh oleh banyak makanan.
"Namun aku tidak menginginkanmu menjadi polisi nak. Terlalu beresiko. Ayah lebih menginginkan kamu menjadi guru atau konsultan keuangan mungkin." Tuan Matsunaga menyeringai. Kim memanyunkan bibirnya.
Nyonya Matsunaga tertawa. "Ayah! Kau tidak perlu memaksakan itu."
Tuan Matsunaga menoleh adik Kim yang masih berusia lima tahun. Ia sedang asik menggambar. Ia mengurungan niat untuk bertanya tentang cita-cita. Mengerti apa bocah berumur lima tahun.
"Kalau adikmu mungkin berbakat menjadi pelukis." Tuan Matsunaga tertawa, disusul oleh tawa dari Nyonya dan Kim.
Teng... Bel berbunyi.
"Ah, siapa bertamu di saat makan siang seperti ini?" Tuan Matsunaga kesal.
"Biar aku buka, ayah." Nyonya Matsunaga meninggalkan ruang makan untuk membukakan pintu. Sesampainya di pintu, Nyonya Matsunaga membukakan pintu. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki kulit putih dengan mata sipit. Postur badannya biasa saja.
"Selamat siang, Nyonya." Orang asing itu menyapa lebih dahulu. Dari logat bicaranya, sepertinya dia bukan orang Jepang.
"Selamat siang, dengan siapa?" Nyonya Matsunaga bertanya dengan sopan.
"Ah, saya rekan kerja Tuan Matsunaga. Apakah dia ada di dalam? Ada berkas penting yang akan saya sampaikan." Sembari menunjukkan map berwarna cokelat kepada Nyonya Matsunaga.
"Oh, kalau begitu silahkan masuk. Aku akan memanggil Tuan Matsunaga.
Orang asing itu menunggu di ruang tunggu. Sementara Nyonya Matsunaga memanggil suaminya.
"Ayah, ada yang ingin bertemu. Ia bilang, ia rekanmu. Ada berkas penting yang akan disampaikannya."
Tuan Matsunaga diam sejenak. Ia menebak siapakah orang itu. Berkas apa yang diantarnya. Setelah buntu, Tuan Matsunaga memutuskan untuk menemui orang tersebut.
"Mama, kau tunggu di sini saja. Makan duluan saja." Tuan Matsunaga meninggalkan ruang makan. Nyonya Matsunaga mengangguk.
Tuan Matsunaga melihat tamunya yang berdiri membelakanginya. "Maaf, dengan siapa?" Tuan Matsunaga menegur dengan sopan.
Orang asing itu membalikkan badan. Mengeluarkan sebuah pistol berperedam dan menodongkannya ke arah Tuan Matsunaga. "Masih penasaran denganku?" Orang asing itu tersenyum hingga giginya terlihat. Tersenyum karena sasarannya tidak lagi bisa berkutik saat ini.
Tuan Matsunaga tahu siapa tamunya. Namun ia tidak lagi bisa menghindar. Peluru dengan kecepatan sepersekian detik melesat menembus kepala Tuan Matsunaga. Tanpa suara, senyap. Tamu siang bolong itu berhasil menumbangkan Tuan Matsunaga yang gagah. Darah segar mengalir membasahi lantai. Kini korban selanjutnya adalah istri dan anak-anak Tuan Matsunaga. Orang asing itu tahu pasti pada tengah hari seperti ini, orang-orang sedang bersantap makan siang. Ia berjalan pelan menuju ruang makan. Terlihat Nyonya Matsunaga masih asik makan dan bercengkrama dengan kedua putranya. Ia tidak tahu hewan buas sedang mengintainya. Sejenak aktifitas di ruang makan terhenti. Nyonya Matsunaga melihat orang asing tadi berdiri di pintu ruang makan.
"Loh, ada apa Tuan? Sudah bertemu Tuan Matsunaga?"
Tanpa bicara, orang asing itu menembakkan pistolnya kembali. Dua tembakan tepat mengenai dada dan bahu kiri Nyonya Matsunaga. Kejadiannya begitu cepat. Target selanjutnya adik Kim. Kim reflek mendorong adiknya. Adiknya membentur kaki meja makan dan tak sadarkan diri. Setidaknya itu lebih baik ketimbang peluru yang menembus kepala adiknya. Tiga tembakan meleset melubangi dinding. Kim ikut terjatuh. Orang asing itu mencoba menembakkan kembali senjatanya. Beruntung, pelurunya habis. Kim bangkit melemparkan kursi makan ke arah orang asing itu. Brak. Lemparan yang jitu. Orang asing itu roboh sebelum berhasil mengisi ulang pelurunya.
Kim berlari melewati pintu lainnya. Rumah Tuan Matsunaga cukup besar dan banyak tempat untuk bersembunyi. Orang asing itu bangkit kembali. Tidak mau kalah dengan bocah ingusan. Senjatanya telah terisi ulang. Magasin terakhir. Ia bergegas mencari Kim sebelum Kim berhasil lolos dan mencari bantuan. Kim kecil berlari ketakutan setelah melihat ibu, ayah dan adiknya tergeletak tak berdaya. Kim bersembunyi di dalam lemari di kamar ayahnya. Sementara pembunuh berdarah dingin itu mencarinya dengan santai.
"Anak kecil... Di mana kau? Aku punya permen untukmu." Pembunuh itu berkata dengan nada lembut, seperti membujuk bocah.
Dari celah pintu lemari, Kim melihat pembunuh tersebut telah masuk ke kamar ayahnya. Kim terdesak. Tiba-tiba, krek.
"Ah, di situ kau rupanya!" Pembunuh tersebut mendekati lemari setelah mendengar sesuatu di dalamnya. Dia berjalan dengan santai dengan senyum jahatnya, menganggap bahwa buruaannya telah terdesak. Dengan cepat pembunuh itu membuka pintu lemari dengan pistol berperedam yang siap memuntahkan peluru melubangi kepala Kim kecil. Pintu lemari terbuka. Si pembunuh dikejutkan dengan seekor tikus yang keluar dari lemari. Tidak ada Kim kecil di sana.
"Bedebah kecil sialan! Di mana kau?" Si pembunuh kalap, mengobrak-abrik seisi lemari. Mencari ke seluruh ruangan di rumah. Namun hasilnya nihil.
Sementara Kim telah berhasil lolos. Ia berlari dengan tubuh gemetar ketakutan. Wajahnya basah oleh air mata. Beruntung sekali, ia menemukan sebuah pintu rahasia. Lemari tersebut adalah pintu rahasia yang terhubung langsung dengan ruang bawah tanah dan gorong-gorong kota. Wajar saja saat membuka pintu tersebut, seekor tikus keluar dan bisa menjadi pengalih perhatian. Pintu tersebut hampir tidak kasat mata. Berkamuflase sempurna dengan kayu lemari.
Pintu tersebut telah tertinggal jauh di belakang. Kim tidak berhenti berlari karena takut Si pembunuh masih mengejarnya di belakang. Bau menyengat tidak menjadi hambatan bagi Kim. Sesekali ia harus bertemu rombongan tikus yang lapar, kecoak, dan hewan menjijikan lainnya. Setelah hampir satu jam berlari, stamina Kim sudah habis. Ada sebuah tangga dengan lubang yang tertutup di atasnya. Kim memanjat tangga tersebut. Tingginya hampir lima meter. Dengan sisa tenaga yang ada, Kim berjuang untuk keluar dari gorong-gorong tersebut. Pada akhirnya Kim berhasil mencapai puncak dan membuka tutup tersebut. Lubang tersebut berada di pinggir jalan sebuah kota yang cukup ramai. Kim keluar dari lubang tersebut, tergeletak lemas tak sadarkan diri. Sementara Si Pembunuh melarikan diri meninggalkan mayat orang tua Kim beserta adiknya yang tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Codes
ActionJasad tanpa identitas ditemukan terbujur kaku di sebuah pulau kecil dengan lubang di lehernya. Pakaiannya masih rapih, lengkap dengan jas berdasi. Jasad tersebut membawa petunjuk yang harus dipecahkan Mr. Abraham bersama dua detektif hebatnya yakni...