Deja vu

7 0 0
                                    

Arga memarkir sepeda motornya di halaman rumahnya. Satpam rumahnya berlari menghampirinya untuk menuntun motornya ke dalam garasi. Dengan sekilas Arga melempar senyum terima kasih dan segera memasuki ruang tamu rumahnya yang luas.
Ia duduk di sofa dan membuka sepatu dan kaos kakinya. Setelah itu ia tenteng ke ruang keluarga dan menaruhnya di rak sepatu yang ada di samping meja telepon.

Di lantai dua, terlihat Roby dan Nova menuruni tangga ke lantai bawah. Nova begitu mesra menggelayut di tangan kiri Roby. Mereka nampak serasi dan rapi. Rupanya mereka ingin ke acara rekan bisnis ayahnya yang memenangkan sebuah tender.

"Hai Arga, kamu mau ikut kita lunch bareng di tempatnya pak Alex?" Nova pura-pura perhatian dengan Arga di depan Roby.

Arga sempat tertegun dengan ackting ibu tirinya itu, karena saat ayahnya keluar kota, jangankan mengajaknya makan, menanyakan keadaannya saja tak pernah. Nova hanya akan peduli dengan acara arisan, shopping atau ke salon.

"Kamu kog melongo kayak orang bego dari tadi. Mama Nova tuh nanyain kamu." Roby menyadarkan Arga yang masih terdiam.

"Arga udah kenyang pa, tadi habis makan dengan Chery di kantin sekolah." Arga menjawab dengan datar.

"Wah, untung ya, mama, eh tante kenalin kamu sama Chery, jadinya kamu gak kesepian." Nova menyindir Arga dengan pedas.

"Ya, udah kita pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah." Roby dengan nada datar menasehati Arga. Ia tahu anaknya itu tidak pernah senang dengan keberadaan Nova.

"By Arga.... Have fun ya..." Nova seakan mengejek Arga yang tak pernah mendapatkan perhatian dari ayahnya.

Arga hanya terpaku melihat kepergian mereka. Entah di mana ayahnya bertemu dengan tante Nova. Semenjak ibunya menghilang dan tak pernah pulang, tak sampai sebulan ayahnya sudah membawa pulang Nova karena sudah resmi menikah dengannya.

Di rumah itu, ia layaknya sebuah hiasan yang bernama. Pemeran utamanya hanyalah tante Nova, dan tentu ayahnya adalah pemeran figuran. Seakan perusahaan, rumah hingga ayahnya bisa Nova kendalikan semua.

Kadang Arga merindukan sosok ibu yang lama tidak ia temukan. Hanya Chery, yang mulanya canggung untuk ia ajak bicara, tapi lama kelamaan mereka bisa akrab dan terbuka satu sama lain.

Arga juga merindukan kedekatannya dengan Antis. Sejak kecil mereka sudah bersahabat, dan orang tua mereka pun juga sudah sangat kenal. Hanya di waktu kecil Arga bisa merasakan hangatnya keluarga, karena di sana ada ayah, ibunya, serta keluarga Antis.

Tapi, semenjak ibunya menghilang, ia juga tidak bisa bertemu dengan Antis, om Handoko, atau tante Andri. Rumah mereka pun sudah berganti penghuni. Saat ia menanyakan keberadaan Antis dan keluarganya, penghuni baru itu malah tidak tahu.

Harapan muncul ketika ia masuk SMA. Pada saat OSPEK, ia mengenali Antis dari nama lengkapnya. Ia juga sudah menyelediki di mana Antis tinggal. Sayangnya ia harus menghadapi kenyataan kalau Handoko dan Andri sudah meninggal, sementara Antis sama sekali tidak merespon ketika ia berusaha untuk mengingatkannya pada masa kecil.

"Apa mungkin ia trauma dengan kematian ayah dan ibunya, sampai ia sama sekali tak mengenaliku?" Arga menggumam sambil menatap gedung tinggi yang ada di balik jendela kamarnya. Sesekali ia menarik nafas panjang, mencoba berpikir bagaimana caranya ia menemui Antis hingga ia bisa akrab seperti dulu lagi.

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

Sementara di tempat lain, Antis berdiri tertegun menatap boneka beruang yang terpampang di sebuah swalayan. Ia dan Della sedang berbelanja kebutuhan sekolah dan beberapa snack kesukaan mereka.

Sesekali Antis menarik nafas panjang karena tak bisa mengingat siapa Arga.

"Sejak kapan kamu suka boneka Beruang?"  Della mengagetkan Antis yang dari tadi menatap kosong ke arah boneka besar itu.

"Entahlah, jangankan boneka, laki-laki yang namanya Arga, aku tidak mengingat bagaimana rupanya" Antis dengan mata sayu melirik Della.

"Oh, ya, aku tuh udah nanya ke teman-teman smp kita yang ada di kelas 10, yang nama Arga tuh cuma di kelasnya Siska. Menurut ceritanya Siska, dia udah punya tunangan, namanya Chery.
Menurut gue, yang namanya Arga itu gak setia deh, masa udah punya tunangan masih niat selingkuh dengan kamu."

Della menatap Antis berharap ia tertawa, tapi malah yang ia temukan wajah cemberut.
Lalu tatapan Antis beralih ke ponselnya yang berbunyi. Rupanya Min ah mengirimnya sebuah pesan.

"Yaelah, baru juga sejam telat pulang udah ditanyain aku di mana." Gerutu Antis yang semakin suntuk.

"Hm.. Kalau gue punya pacar posesif kayak si Minah, pasti hidup aku gak bakal tenang."

Antis diam saja membiarkan Della nyerocos gak tentu. Mereka lalu mengantri di kasir dan segera keluar swalayan setelah membayar belanjaan.

Di depan swalayan mereka berpapasan dengan seorang kakek yang baru saja keluar dari sebuah mobil mewah. Ia tak lain adalah pak Brahman, pengelola sekaligus pemilik swalayan tersebut. Setelah menutup pintu mobil, sopir sang kakek hendak memarkir mobilnya. Kakek yang berkaca mata minus dan bertongkat itu menuju ke arah pintu swalayan. Tapi dari arah samping sebuah sepeda motor hendak menyambar sang kakek.

Antis yang menyaksikan kejadian itu segera lari menyelamatkan kakek yang rapuh itu. Ia menarik tubuh sang kakek, hingga tongkatnya terlepas. Nyaris saja sepeda motor dengan pengendara yang menutup wajahnya itu, menabrak tubuh pak Brahman.

Pak Brahman berdiri mematung dalam pelukan Antis. Antis segera melepaskan pelukannya setelah situasi dianggapnya aman.
Sopir pak Brahman lari tergopoh-gopoh memastikan pak Brahman tidak kenapa-kenapa. Della yang dari tadi mematung, ikut mendekati Antis dan Pak Brahman yang terlihat shock.

"Kakek, tidak kenapa-kenapa?" Antis menatap pak Brahman dari kepala hingga ujung kaki.

"Oh, aku baik-baik saja, itu berkat kamu nak." Pak Brahman tersenyum dan menatap ke arah sopirnya.

"Segera cek CCTV di bagian luar, selediki plat nomor motor tadi."

"Baik, pak." Jawab sopir itu dengan tegas. Sopir itu segera menelepon seseorang yang bertugas memantau CCTV yang ada di swalayan tersebut.
Pak Brahman kembali menatap Antis. Begitu pula Antis, ia dari tadi menatap pak Brahman lekat-lekat hingga tak menghiraukan Della yang menanyakan kondisinya. Antis seperti familiar dengan wajah pak Brahman.

"Terima kasih sudah menolongku tadi. Aku tidak tahu apa jadinya jika kalian tidak ada di sini."

Pak Brahman tersenyum ke arah Antis dan Della. Kemudian ia melirik sopirnya.
"Jam berapa kita meeting?"

"Akan segera dimulai pak." Sopir pak Brahman menjawan pelan.

"Undur setengah jam, aku ingin berbincang sebentar dengan mereka." Pak Brahman melirik Antis dan Della.

"Tapi, tadi Min ah sudah nyariin kamu. Gimana nih?"  Della menyikut Antis dan berbisik padanya.

"Gak papa kok, kasihan, beliau aja udah relain setengah jam waktu meetingnya demi berbincang dengan kita." Antis balas berbisik. Ia lalu tersenyum ke arah pak Brahman.

"Mari, ikut saya ke dalam." Pak Brahman dengan ramah mengajak Antis dan Della ke cafe, belakang swalayan tersebut.

Aroma parfum pak Brahman seakan menyeruak ke hidung Antis. Antis tertegun sebentar sambil memelankan langkahnya. Ia begitu kenal dengan parfum pak Brahman. Antis masih penasaran di mana ia pernah bertemu dengan pak Brahman. Semakin kuat ia mencoba mengingat, kepalanya malah tambah pening.

"Apa mungkin pak Brahman pernah ada di masa laluku?" Antis bergumam dalam hati.

Hm... Maaf ya kalau agak aneh. Jangan sungkan-sungkan komentar ya kalau ada yang aneh,
Ditunggu comentnya ya...  😊

Jangan lupa singgah di ceritaku yang tidak kalah super baper, keren dan tentu menarik becak, eh salah,  menarik pembaca semua hanya di
https://my.w.tt/MbB0sVQUHW
Judulnya The Lovers.
Happy reading ya (maaf kalau inglish-ku jelek)

ANTISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang