4 | Match

140 24 15
                                    

Beberapa hari ini aku banyak melamun.

Hari ini aku tidak berangkat ke Big Hit karena ini akhir pekan. Saat yang paling pas untuk menenangkan pikiran dari penatnya rutinitas.

Akhir pekan ini aku tidak pergi ke manapun. Aku memilih berdiam diri saja di rumah.

Musim yang betapa dingin suhunya hingga begitu menusuk sampai ke tulang sangat tepat jika dihabiskan dengan bergelung dalam selimut.

Sejak salju pertama turun tepat di hari ulang tahunku hingga kini tepat seminggu setelah hari itu, belum ada telepon atau setidaknya pesan singkat dari Jonghoon.

Waktu berlalu, tapi tak ada yang berubah.

Sungguh. Aku merasa seperti keluarga korban kecelakaan pesawat yang sedang menunggu kabar kepastian ditemukannya jenazah para korban.

Aku sungguh tidak habis pikir, otakku tidak henti-hentinya mengulang pertanyaan yang sama, 'apa kini aku benar-benar orang asing baginya?'

Hubunganku dengan Jonghoon itu bukan tipikal Long Distance Relationship seperti kebanyakan orang yang selama ini kutahu.

Umumnya mungkin sepasang kekasih rutin saling memberi kabar, membicarakan hal-hal kecil atau bahkan membicarakan hal yang cukup serius hingga tidak terasa sudah berjam-jam melakukan video call, bertelepon, atau sekedar chatting.

Hubungan kami jauh dari hal-hal semacam itu, untuk beberapa bulan terakhir ini tepatnya.

Semakin hari semakin terasa jauh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.

Aku sangat mengerti, dunia kesibukan kami jauh berbeda. Dia berkutat di dunia hiburan sedangkan aku hanya mahasiswa yang sibuk belajar seperti mahasiswa lain pada umumnya.

Karena itu aku begitu maklum dengan kenyataan bahwa kami tidak bisa sering menghabiskan waktu bersama seperti pasangan lainnya. Termasuk sering berkomunikasi lewat benda tipis yang canggih itu.

Aku tidak masalah sama sekali dengan itu semua. Kupikir dengan begitu setiap pertemuan kami akan lebih bermakna.

Dengan begitu pula rasa rindu kami semakin membuncah hingga saat hari pertemuan tiba setiap detik akan terasa lebih berkesan.

Itu pemikiranku dulu.

Ternyata, apa yang terjadi tidak sepenuhnya seperti yang ku pikirkan. Justru semakin jarangnya komunikasi itu menciptakan jarak diantara kami semakin nyata jauhnya.

Ini jelas bukan salah keadaan. Hubungan ini terasa runyam karena manusianya, bukan keadaannya.

Aku tahu, ternyata merawat hubungan itu tidak semudah merawat seekor ikan di kolam pekarangan rumah. Juga tidak semudah memupuk tanaman indah yang menghiasi pagar.

Dulu saat kami berdua masih berada di kota yang sama, Seoul, semua berjalan baik-baik saja walau kami juga jarang bertemu.

Hanya saja semenjak kepindahan Jonghoon ke Jepang untuk mulai meniti karir entertainment-nya disana, perlahan hubungan kami makin memburuk.

Ada yang aneh.

Yang kurasa pun Jonghoon tidak seperti pribadinya yang selama ini kukenal. Ia semakin dingin, dan terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

Padahal kami pasangan yang sangat terbuka satu sama lain. Tidak ada rahasia sekecil apapun diantara kami. Setiap ada masalah pun baik itu dari masalah Jonghoon atau masalahku, kami selalu saling bercerita dan mencari solusi bersama.

Saking harmonisnya hubungan kami, kami belum pernah mengalami pertengkaran kecil hingga pertengkaran hebat sekalipun.

Sebenarnya itu fakta yang membuatku sedikit khawatir. Aku takut suatu hari nanti kami mengalami pertengkaran hebat walau bisa kupastikan itu tidak akan terjadi karena kami berdua sama-sama pribadi yang cukup dewasa.

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang