7 | Sandwich

64 12 8
                                    

Kemarin adalah hari terburuk bagiku. Meski ternyata tidak seburuk yang ku bayangkan karena tanpa kuduga Taehyung muncul berusaha menghiburku.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemarin jika lelaki itu tidak datang. Mungkin aku akan menangis semalaman di pinggir sungai Han hingga air mataku mengering atau mungkin hingga sungai Han mengering.

Tapi begitulah kemarin terjadi. Aku sungguh menangis semalaman. Bahkan kurasa bulan di atas sana turut berduka cita atas kesedihanku.

Setelah Taehyung mengantarku pulang ke rumah, aku tidak dapat lagi membendung emosi kepedihanku yang sempat kupendam. Semalaman hingga lewat tengah malam aku masih mendapati diriku menangis akibat momen terpahit yang tak pernah ku bayangkan sekalipun dalam benakku.

Aku tidak bisa memaksa mataku untuk memejam tertidur dan melupakan semuanya begitu saja.

Jonghoon mengakhiri segalanya begitu manis.

Tidak ada kiasan yang benar-benar sesuai dengan suasana kabung yang menyerangku.

Aku masih belum sepenuhnya menyadari tragedi patah hati yang meluluh-lantakkan pikiran dan perasaanku walau perih dan ngilunya begitu terasa di hatiku.

Masih seringkali diam-diam melamun, diam-diam menangis sedu hingga mataku terasa kering dan kepalaku pusing seakan dipukul berkali-kali.

Namun, mungkin setelah ini Tuhan akan menggantikannya dengan kehidupan yang lebih baik. Entah itu kehidupan yang lebih baik menurutku juga atau tidak.

Setidaknya aku masih percaya bahwa rencana Tuhan pasti lebih indah.

___

Aku berbaring lesu di atas kasur. Mataku tertuju pada sebingkai foto di atas nakas. Letaknya bersebelahan dengan kotak musik pemberian Jonghoon saat perayaan ulang tahunku tahun lalu. Kotak musik yang selalu kuputar jika aku merasa kesulitan tidur. Alunannya bagai sihir yang ampuh menghipnotis tubuhku untuk segera terlelap.

Cukup lama aku menangis tersedu-sedu memandangi sebingkai foto tersebut dan kotak musik di sebelahnya.

Potret dua manusia yang tersenyum bahagia menatap lensa kamera. Potret yang diambil tepat dua tahun lalu saat Jonghoon dan aku baru menjalin hubungan. Foto itu diambil ketika kami merayakan perilisan album pertamanya.

Aku masih mengingat jelas perasaan yang ku rasakan saat potret itu diabadikan. Bahagia sekali rasanya ketika melihat orang yang begitu kita cintai berhasil meraih mimpinya. Mimpi yang menjadi arti kebahagiaan mereka. Itu yang ku rasakan saat itu.

Aku sangat tahu bagaimana Jonghoon bekerja keras demi perilisan album pertamanya itu. Saat itu untuk bertemu saja begitu sulit.

Aku hanya dapat memaklumi keadaan. Selalu berusaha mengerti kesibukannya, dan membiarkannya bebas meraih apa yang ingin ia capai dalam hidup adalah bagian dari caraku mencintainya.

Tapi untuk sekarang? kurasa tidak lagi. Rasa kesal akan kenyataan diantara kami berdua mulai timbul dalam benakku.

Semenjak kesibukannya semakin menekik karena proses pembuatan dan promosi film pertamanya di Jepang, hubungan kami semakin memburuk.

Jonghoon tidak pernah menghubungiku atau membalas pesan-pesan dan teleponku setelah terakhir kali waktu itu.

Aku memang merasa ada yang salah dengannya. Suara di dalam telepon terakhir kali sangat jelas menunjukkan ia benar-benar kelelahan dan seperti ada masalah. Tapi tidak pernah sekalipun ia menceritakan isi hatinya padaku. Apa yang bisa ku lakukan untuk membantunya jika ia saja tidak bercerita tentang apapun padaku bahkan untuk sekedar membalas pesan singkatku.

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang