10 | Privilege

76 7 3
                                    

Aku selalu bertanya-tanya, apa memiliki satu hari penuh bersama orang yang kita cintai adalah sebuah kebahagiaan yang hanya didapat orang-orang khusus?

Dalam hidupku sejauh ini, tidak pernah ku rasakan menjalani hidup sehari penuh bersama orang yang ku sayangi. Entah itu bersama orangtuaku atau bersama Jonghoon sekalipun.

Selalu hanya beberapa jam saja yang kulalui bersama mereka, tidak pernah berlangsung lama bahkan sehari penuh.

Tapi kepingan-kepingan berapa jam yang ku lalui bersama orang yang kusayang ku kumpulkan menjadi satu dan kuputar kembali saat merindukan momen-momen itu. Ah entahlah, aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya ku rindukan, momennya atau orangnya. Katanya itu adalah dua hal yang berbeda.

Sejak pertama kali aku bertemu Jonghoon setelah kepulangannya dari Jepang, hidup yang ku jalani terasa hanya sebuah mimpi. Rasanya aku tidak benar-benar hidup.

Aku banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri. Aku memikirkan tentang sebab yang melatarbelakangi keputusan Jonghoon mengakhiri hubungan kami.

Aku tahu, memikirkan hal ini hanya akan membuatku berputar-putar tanpa menemukan jawaban.

Mengingat kembali semua kepingan-kepingan waktu yang pernah kami habiskan bersama selalu berhasil membuat bulir air mataku mengalir lagi dan lagi. Bukan karena begitu banyaknya momen kebersamaan kami, justru karena sedikitnya waktu yang ku habiskan dengannya.

Andai saja waktu dan keadaan mau berteman baik denganku, mungkin tidak akan seburuk ini perasaanku.

Perasaan ini membuatku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Rasanya malas sekali untuk melanjutkan hidup.

Walau begitu aku tidak akan mengambil keputusan bodoh hanya karena aku lelah menjalani hari-hariku yang begini-begini saja.

Ya, begitu. Setidaknya hari ini aku berhasil berpikir jernih ditengah carut-marut pikiranku.

_____

Dua tahun lalu masa-masa awal hubunganku dengan Jonghoon terekam jelas dalam ingatanku. Bagaimana kumpulan memori tentang masa-masa itu selalu berhasil menampilkan senyum di wajahku, yang kini juga ikut menampilkan aliran air mata dipipiku.

Kebiasaanku menunggunya di luar ruang latihan piano, memandangi dibalik jendela kaca bagaimana ia mengalunkan melodi sebuah lagu dengan sangat apik dan menyentuh hati, bagaimana senyum manis dan eye smile-nya melengkung saat menyadari keberadaanku selalu membuat jantungku berdebar, dan bagaimana menit berikutnya ia selalu mengajakku, memintaku duduk bersebelahan di kursi pianonya dan ia mulai memainkan lagu sambil menatapku lekat. Ah... itu sungguh cara terbaik untuk memperbaiki mood-ku.

Aku bukan anak musik, jadi mungkin juga karena itu aku cepat merasa tersentuh dengan permainan pianonya. Tapi sungguh, ia memiliki tatapan yang selalu berhasil menghipnotisku.

Aku rasa semua bibit idol memiliki daya tarik ini. Bukankah begitu?

Setiap kali tatap mata kami bertemu, saat itu juga aku selalu berdoa pada Tuhan meminta untuk selalu memberi kebahagiaan untuknya. Selalu menjaga senyum yang menghangatkan hatiku itu selalu tersimpul indah di wajahnya.

Aku selalu berdoa semoga langkahnya meraih mimpi selalu dimudahkan dan aku berkomitmen pada diriku sendiri bahwa aku akan selalu menemani Jonghoon, selalu berada disisinya mendukung selalu sampai ia berhasil meraih impiannya.

Jadi, aku sungguh tidak masalah jika waktunya lebih banyak ia gunakan untuk berlatih daripada ia habiskan bersamaku.

Aku tidak apa untuk selalu menabung rindu sampai masa dimana kami bisa melalui banyak waktu bersama akan datang.

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang