8 | Tokyo

100 10 11
                                    

Tokyo Dome Hotel

Kaca lebar jendela di hadapanku semakin buram akibat suhu di luar yang semakin rendah. Semakin hari terasa semakin dingin saja. Ini pasti karena puncak musim dingin di Tokyo semakin dekat walau butiran salju belum tampak oleh indra penglihatanku. Beberapa hari lagi seluruh orang di dunia akan menyambut tahun baru.

Aku berdiam diri duduk bersila di atas kasur, mengamati suasana luar sana lewat kaca jendela besar di hadapanku sembari menikmati asian dolce latte yang kupesan.

Aku tidak menyangka semua berlalu begitu cepat. Hari-hari pahit yang kulalui bagai adegan slow motion dalam film, berlalu begitu saja.

Mungkin bisa ku katakan usahaku menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas cukup berhasil. Selain urusan pekerjaan, aku menyibukkan diri dengan menulis dongeng yang ku siapkan sebagai hadiah kecil untuk anak-anak di salah satu panti asuhan di Busan. Walau begitu, dalam seminggu selalu ada hari dimana aku kembali menangisi hubunganku dengan Jonghoon.

Hari demi hari hingga hari ini, berulang sama. kenyataan bahwa hatiku masih miliknya.

Aku tidak tahu jika kehilangannya membuatku merasa kehilangan nyawa. Aku menjalani hari demi hari layaknya mayat hidup.

Aku jadi sadar bahwa selama ini Jonghoon menjadi pusat duniaku. Begitu ia menghilang, duniaku menjadi gelap. Harapan, mimpi, dan semangatku seketika lenyap.

Jika saja aku cukup menyayangi diri sendiri, pasti tidak begini jadinya. Pasti hubunganku dengan Jonghoon tidak akan membuatku seperti ini. Aku yang belum cukup menyayangi diri sendiri dan juga kehidupanku ini merasa adanya Jonghoon sebagai orang yang menyayangiku adalah duniaku.

Mungkin memang benar, seseorang yang belum cukup mencintai diri sendiri tidak seharusnya masuk ke dalam sebuah hubungan. Apa yang terjadi padaku mungkin adalah hal yang ditakutkan jika hal itu terjadi.

Aku selalu menangis setiap hari hingga mataku begitu sembab dan pada akhirnya tertidur karena terlalu lelah menangis. Aku benar-benar merasa kosong. Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku tidak tahu harus menjalani hari-hariku seperti apa.

Aku benar-benar terlihat bodoh dan menyedihkan.

Terlebih keberadaanku di Jepang kali ini semakin membuat pikiranku seakan dihantam palu berkali-kali. Cuplikan-cuplikan kebersamaanku dengannya dan segala percakapan didalamnya terputar sepanjang hari seperti komedi putar.

Apalagi saat aku termenung berdiam diri seperti ini. Aku masih ingat kebersamaan kami dengan detail.

Hari itu, 12 Desember tahun lalu, di taman bunga lavender dengan es krim ungu dalam genggaman, aku pernah memastikan satu hal yang menjadi sebuah janji tidak tertulis diantara kami.

"Oppa, apapun yang kelak akan terjadi, kita akan tetap bersama selamanya, kan?"

Ia menatapku dengan bola matanya yang bersinar dan meyakinkan, memberiku jawaban lewat anggukan kepalanya, tersenyum begitu tulus dan melahap ujung es krimnya kemudian. Satu tangannya lagi terus menggenggam tanganku erat. Seakan berjanji tidak akan melepaskanku.

Air mataku mengalir terus menerus teringat momen itu. Salah satu hari termanis yang ku abadikan dalam sebuah lukisan di buku harianku.

Lalu satu hal lagi yang masih sangat hangat dalam ingatanku, malam itu kami sedang berdiri di pinggir rooftop kafenya, hanya ada kami berdua. Jonghoon memelukku dari belakang, melingkarkan kedua tangannya di perutku, dan mendaratkan dagunya di bahuku. Saat itu Jonghoon bercerita padaku kalau ia menerima tawaran bermain film, aku masih ingat malam itu ia pernah mengatakan, "Begitu film pertamaku dirilis, aku akan mengajakmu dalam acara premiere pemutaran filmnya bersama adik dan kedua orangtuaku."

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang