5 | So, it ends?

144 19 9
                                    

Langkahku terhuyung-huyung menuju tempat biasa kami yang ia maksud. Kafe miliknya yang berada tidak jauh dari tempatku sekarang, kantor Big Hit.

Percampuran rasa semangat akan bertemu sosok yang lama dirindukan, rasa penasaran, juga rasa tergesa-gesa memanfaatkan jam makan siang yang tersisa, teraduk dan menyatu dalam dadaku.

Menimbulkan pompaan jantung yang semakin kencang seiring langkahku yang semakin kupercepat.

heels yang ku kenakan tak memungkinkanku untuk berlari.

Aku mengatur napas teratur sembari merapikan penampilanku begitu langkah kakiku telah mencapai pemberhentian terakhir.

Memastikan penampilanku baik-baik saja walau rambutku sedikit berantakan dikacaukan angin di sepanjang jalan.

Segera kubuka pintu kaca kafe itu dan melangkah masuk menuju rooftop kafe. Tempat biasa kami berdua.

Aku terdiam setelah kakiku mencapai lantai rooftop. Menatap sepersekian detik penampakan lelaki di pagar rooftop itu.

Dia mengenakan padding hitam. Penampilan khas musim dingin. Walau begitu aku bisa melihat tubuhnya yang semakin kurus saja. Mungkin karena diet. Padahal ia tak gemuk sama sekali.

"Oppa!" seruku berjalan mendekatinya. Ia menoleh.

Senyumku mengembang, sorot mataku menampakkan tatapan kerinduan. "Jaljinaessoyo?"

Ia tersenyum, namun terkesan dipaksakan. "Aku baik-baik saja. Kau?"

Suasana jadi canggung seperti ini akibat lama tak bertemu dan ia yang tidak pernah membalas pesanku tapi sekarang tiba-tiba meminta bertemu.

Aku berusaha mencairkan suasana. Berlari memeluknya, "Bogoshipeo, neomu." kupeluk erat Jonghoon dengan mata tertutup melampiaskan kerinduanku.

Ia balas memelukku sama eratnya. Sepuluh detik menikmati musim dingin saling berpelukan hingga akhirnya ia melepas pelukan kami.

Kini ia menatapku. Cukup dalam seakan meneliti perubahan apa saja yang timbul pada parasku setelah sekian lama tak bertemu.

Kedua telapak tangannya mendarat di kedua sisi wajahku, ibu jarinya bergerak menyentuh pipiku. Mengusapnya lembut dan perlahan kepalanya merunduk, wajahnya semakin mendekat mengikis jarak diantara kami.

Sedetik kemudian bibir kami bertemu. Mataku lantas membulat.

Ia mengecup bibirku, dan ini pertama kalinya.

Bibirnya terasa dingin, kupastikan itu akibat udara musim dingin yang semakin bersuhu rendah.

Kedua tanganku mencengkeram padding yang ia kenakan. Aku gugup sekali.

Kupikir itu hanya sebuah kecupan singkat, ternyata lebih dari itu. Kecupannya berubah menjadi lumatan lembut yang seakan berusaha menghipnotisku untuk membalasnya. Tapi yang ku lakukan hanya diam merasakan setiap lumatannya. Mencerna apa yang ku rasakan saat ini. Aku cukup terkejut dengan perlakuannya ini.

Ini ciuman pertama kami.

Lumatannya tak menuntut sama sekali walau itu berlangsung cukup lama hingga paru-paruku memberontak meminta asupan oksigen secepatnya.

Seakan mengerti, ia melepas tautan bibir kami. Bersamaan berusaha meraup udara.

Atensi mata kami bertaut dalam diam. Kulihat kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Hingga kemudian satu kalimat singkat terlontar dari bibir manisnya yang baru ku rasakan beberapa detik lalu.

"Uri... geumanhaja." (Ayo kita putus)

Detik itu juga tubuhku melemas. Dadaku ngilu seakan dipukul benda tumpul dengan tiba-tiba.

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang