11 | Those Times

92 6 3
                                    

Dua hari lagi kembang api akan menghiasi seluruh langit di semua negara. Pergantian tahun yang dinanti-nanti semua orang. Mereka yang hidup dengan banyak harapan dan mimpi atau mereka-mereka yang hidup dengan penuh kekecewaan dalam satu tahun ini, apapun latar belakang yang membuat mereka antusias dengan pergantian tahun semua sama-sama menunggu satu hari yang menjadi awal permulaan hidup mereka yang baruㅡkehidupan dengan resolusi baru.

Untukku tidak ada yang menarik dari hari meriah yang dispesialkan orang-orang tersebut, karena aku masih hidup di dua tahun sebelumnya. Pikiranku masih hidup di tahun dimana aku merasa hidup ini sungguh indah dan aku ingin hidup dalam waktu yang lama, dengannya. Walaupun hati ini hidup di tahun ini, tahun penuh luka. Beginilah, hati dan pikiranku seringkali tidak selaras.

Haruskah aku mengikuti mereka? membuat kumpulan resolusi yang berharap semua itu berhasil terwujud dalam waktu satu tahun hingga pergantian tahun yang berikutnya tiba?!

Kalau begitu aku akan menempelkan satu catatan resolusi di dalam kepalaku. Aku ingin hidupku kembali ke dua tahun yang lalu.

Dimana aku hidup penuh keberuntungan. Sukses dalam pendidikan hingga aku menerima beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke Seoul National University, bertemu salah satu teman terbaikku Hwamin, dan bertemu seseorang yang tidak pernah bisa ku deskribsikan dengan kata-kata, dia Jonghoon.

Dimana hari-hari manis yang begitu cerah menghiasi kehidupanku tahun itu.

Cukup. Aku tahu kalian mengatakan aku bodoh berulang kali tak terkecuali diriku sendiri. Semua orang mungkin akan berteriak kencang memekakkan telingaku untuk menyadarkan jiwaku kalau aku harus hidup maju, terus melangkah maju dengan harapan-harapan baru dan menghapus luka-luka lama.

Ayolah, aku tahu itu pikiran klise yang ada di otak semua orang. Tapi pernahkah orang-orang itu berpikir? bahwa menghapus luka dan bangkit dengan harapan-harapan baru tidak semudah menelan tteokpokki terenak di Seoul?

Roda kehidupan kita bisa saja terus berputar maju tapi berputar melintasi lintasan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kita bisa saja terus merasakan luka yang kita punya walau setumpuk harapan baru telah kita tulis rapi di kepala.

Meskipun kita hidup dengan harapan-harapan baru, jika luka yang kita punya masih terus kita rasakan bagaimana kehidupan kita akan terasa berbeda? bagaimana kita bisa merasa bahwa hidup kita lebih baik dari sebelumnya?

Jadi, yang kuperlukan bukanlah harapan-harapan baru. Aku perlu penyembuh. Satu-satunya yang akan membuat hidupku kembali seperti semula ketika aku tidak mengenal apa itu perih apa itu luka.

Sialnya hingga saat ini aku belum menemukan penyembuh itu. Mereka bilang aku hanya perlu waktu. Mereka bilang waktu akan menyembuhkan. Apa yang mereka katakan itu benar? Bisakah aku mempercayai pernyataan itu?

what if you come back to me?
So I can't even take a step away

_____

"Annyeong.." suara berat yang juga terdengar lembut menyapaku yang tengah berdiri dipinggir pagar rooftop kampusku, Seoul National University. (hai)

Sepertinya aku terlalu menikmati semilir angin musim gugur dari atas sini hingga sedikit terkejut mendengar suara sapaan itu.

Aku begitu gugup. Seketika menjadi beku bingung akan bersikap bagaimana menyambut sapaannya.

Lelaki yang sekitar dua puluh centimeter lebih tinggi dariku. Ia mengenakan sweater berwarna biru sebagai luaran dengan kemeja putih dan dasi biru pastel sebagai kombinasi menjadi atasan yang ia kenakan.
Manis sekali.

It Called FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang