"Bar, aku balik duluan. Maket untuk rapat hari senin jangan sampai lupa disiapin."
Setelah mematikan sambungan teleponnya dengan Akbar, Panji langsung mendial nomor Hayu. Tapi lagi-lagi diabaikan. Pesan dan telepon Panji sejak kemarin tak sekalipun direspon.
Panji memarkir mobilnya di salah satu rumah sakit tempat Hayu bekerja. Setelah sebelumnya ia mendatangi apartemen perempuan itu yang kosong. Dengan langkah yang lumayan lebar Panji menuju ruang praktek para dokter, sesampainya di sana, hasilnya nihil. Panji melanjutkan langkah menuju bangsal anak. Siapa tahu Hayu sedang memeriksa pasien meskipun Panji hafal betul jadwalnya di sini hanya sampai zuhur. Sekali lagi Panji tak menemukan keberadaan perempuan itu.
Akhirnya Panji memilih berputar balik ke arah kantin rumah sakit. Dan ternyata manusia yang dicarinya ada di sana sedang melakukan santap siang bersama ....
Kesal dan cemburu seketika memenuhi dada Panji. Tak banyak pertimbangan lelaki itu segera mendekati kekasihnya dan langsung menarik tangan rampingnya kasar.
"Panji, please! Kamu ini kenapa sih?! Nggak usah tarik-tarik aku kayak gini. Sakit tahu!"
Panji seolah tuli. Amarahnya seperti naik ke ubun-ubun. Permohonan Hayu untuk tak menariknya terlalu kencang teredam. Bagaimana Panji bisa santai, melihat pujaan hatinya tengah berduaan dengan laki-laki lain. Sudah sejak lama laki-laki itu memiliki perasaan pada Hayu. Meskipun laki-laki itu bukan saingan terberat Panji, tapi kegigihan mendekati Hayu dari sejak kuliah cukup menjadi ancaman.
"Kamu yang kenapa? Udah berapa kali aku bilang jangan dekat-dekat sama dia!" Panji menyentak tangan Hayu usai mereka masuk ke sebuah ruangan dan menutup pintu.
"Memang apa salahku?" tantang perempuan itu.
"Kamu tahu apa salahmu!" balas Panji. Tatapannya nyalang oleh emosi.
Hayu malah tertawa sumbang. Menundukkan wajahnya enggan membalas tatapan lelakinya.
"Yang, please ...." Panji merangkum paras jelita itu dengan kedua belah tangan, dan seketika ia langsung tertegun. Panji baru menyadari ada yang beda dengan Hayu. Tidak ada make up, mata yang sembab, dan Panji merutuki kesalahannya.
"Sayang ...." Direngkuhnya Hayu ke dalam pelukannya yang erat. "Sayang, maafin aku. Maafin aku ...."
"Apa yang bisa aku harapkan darimu, Panji? Aku hanya makan siang sama Lingga, dan kamu semarah ini. Lalu, apakabar sama perasaanku? Kecemasanku saat mengingat tunanganku menghabiskan malam dengan wanita lain. Apa kamu pikir aku baik-baik saja? Aku sakit, Panji! Aku hancur!"
Sisi cengeng Panji muncul. Saat Hayu menangis di dadanya, jantung Panji bak dihantam palu. Ngilu.
"Semua sudah berakhir. Saat kamu memutuskan nerima perjodohan itu, kisah antara Panji dan Hayu udah berakhir. Kalau saja kamu berani menolak permintaan orang tuamu. Tentu saja kamu nggak akan pernah melakukannya. Kamu bukan laki-laki ceroboh, yang lebih memilih aku daripada orang tuamu. Ini bukan cerita novel yang penuh drama dan pengorbanan kan?"
Panji menutup jarak, tak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Dilumat cepat bibir yang kini tengah meronta di bawah kuasanya itu sebelum mengeluarkan kalimat yang semakin mengiris-iris hatinya.
"Sekarang aku sedang berusaha untuk hubungan kita, Sayang. Jangan ngomong yang nggak-nggak. Tolong!"
"You have been married, Panji! You have made a choice!"
"Aku punya cara. Kamu hanya perlu percaya sama aku."
"Cara apa hah? Dengan cara menceraikan Dian gitu? Kamu tega biarin adekmu jadi janda di usia muda? Sejak kapan kamu jadi seberengsek ini, Panji?"
Demi Tuhan, kalimat yang dilontarkan Hayu kali ini sukses menembak tepat di jantungnya.
.
.
.
Setelah perdebatan yang cukup menyita waktu, Hayu sudah lebih tenang. Di perjalanan mereka menuju pusat pembelajaan, perempuan ini sama sekali tak melepaskan pelukannya di lengan kekasihnya. Menyadari hal itu, hati Panji terasa disayat. Andai Hayu tahu, ia juga merasakan hal yang sama. Takut kehilangan.Selama ini sudah banyak laki-laki yang coba mendekati Hayu secara terang-terangan, bahkan berniat mengajaknya serius. Semua rata-rata dari kalangan seprofesi Hayu. Direktur rumah sakit yang baru saja menduda beberapa bulan pun masuk diantaranya. Kurang ajar! Ingin rasanya Panji mengurung Hayu untuk tak kemana-mana bila kewarasannya sudah hilang.
"Kamu nggak usah ikut masuk, tunggu aku di foodcourt." Hayu menahan lengan Panji begitu mereka sampai di depan outlet brand pakaian dalam.
"Why? Aku butuh cari pakaian dalem juga kan?" goda Panji. Berusaha mencairkan suasana bahagia diantara mereka.
Hayu mendelik. "Ada-ada aja kamu! Udah ah sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)
RomanceDian sangat mencintai suaminya. Meskipun suami sekaligus pria yang dulu pernah menjadi kakak angkatnya itu telah menjatuhkan hatinya pada wanita lain. Jika bisa memilih, lebih baik Setya memilih kekasihnya, daripada terikat dengan gadis yang sudah...