Bagian 8

13.5K 1.5K 123
                                    

Pagi ini Dian ke kampus diantar oleh orang yang membuatnya menangis semalaman. Katanya sekalian orang itu akan berangkat kerja. Dian sudah menolak. Selain karena masih kesal, mungkin juga akan sangat canggung bila harus berduaan. Tapi, orang yang menurut Dian terlihat sangat tampan dengan kemeja warna gelap ini, keukeuh ingin mengantarnya. Salahkan hati Dian yang mudah luluh oleh sikap manis tersebut. Ditambah, meski kejujuran Setya sangat menyakitkan, rasa cinta Dian sama sekali tak berkurang sedikit pun.

"Nanti pulang jam berapa?" Lelaki itu menepikan Wranglernya tepat di depan kos Talia.

"Jam tiga." Jawab Dian pendek.

"Mas jemput." Tawar lelaki itu.

"Nggak usah." Dian melepas setbelt dan menyangklong tote bagnya. "Aku pulang sama Talia aja. Nanti rencananya sepulang ngampus mau jenguk ponakan Talia dulu."

Setya mengangguk seraya mengulurkan tangannya ke arah Dian. Gadis itu langsung menyambutnya. Setya menarik Dian dan mengecup keningnya penuh perasaan. "Maafin Mas, Di. Jangan nangis lagi ya. Semangat kuliahnya."

Dian tak merespon. Tak disangka, lelaki itu kembali mendaratkan kecupan di kedua mata Dian. Perut Dian terasa diaduk-aduk. Jantungnya meloncat-loncat kaget. Seperti biasa, Setya akan keluar lebih dulu dan membukakan pintu mobil untuknya. Memang se-gantle itu.

"Assalamu'alaikum, Mas! Hati-hati di jalan!" Dian berseru mengiringi kendaraan lelaki itu yang semakin menjauh.

Dian memilih duduk di kursi yang tersedia di teras kos Talia. Ia sudah berniat akan absen pada kuliah hari ini. Matanya masih terasa berat disertai kepala pusing. Hatinya kacau, isi otaknya banyak tersita oleh peristiwa semalam. Bagaimana ia bisa berkonsentrasi pada materi dari dosen bila kondisinya seperti ini? Dian butuh istirahat sehari untuk menenangkan diri, dan di sinilah tempat yang pas untuknya berteduh.

"Kamu udah lama di sini?" Talia tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk!"

Sahabatnya itu langsung menyongsong tubuh Dian, seakan paham dengan apa yang tengah ia alami. Dian memang menceritakan unek-uneknya saat Talia memberitahu soal ruangan di dekat gazebo tempo hari.

"Udah kamu tanyain ke Masmu belom, masalah ruang praktik itu?" tembak Talia langsung saat Dian baru saja merebahkan diri di ranjang.

"Udah," jawabnya singkat.

"Trus?" Talia yang nampak sangat penasaran ikut berbaring menyamping di sebelah Dian. "Apa katanya?"

"Dia bilang kalau rumah itu emang dipersiapkan buat pacarnya. Pacarnya ... dokter spesialis anak."

Saking terkejutnya Talia hingga merubah posisi dirinya menjadi duduk. "Benar begitu? Masmu bilang terus terang? Atau kamu tahu dari orang lain?"

"Dia bilang sendiri."

"Masmu ngganteng-ngganteng njancuki yo, Di?!"

"Astaghfirullah ...." Dian pura-pura kaget, sembari memegang dadanya. "Woles, Li. Nggak usah ngegas. Aku aja biasa."

"BIASA?!" bentak Talia tak percaya. "Biasa gundulmu! Dengan keadaanmu yang kayak gini kamu masih bilang biasa? Ngaca, Di. Matamu bengkak, wajahmu pucet, apa coba kalau bukan gara-gara dia!"

Setelah memuntahkan pendapat, Talia bangkit dan mondar-mandir sembari menyimpan salah satu jari telunjuk dibalik bibir. Dan semua itu tak lepas dari perhatian Dian.

"Buruan deh ngasih tahu om sama tante. Kenapa dia nerima dijodohin kalau sebenarnya dia udah punya calon? Nggak masuk akal! Mainin hati banget!" Talia menggeram.

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang