Bagian 1

20.7K 1.6K 66
                                    

"Saya terima nikahnya Dianti Indiana Laksmi binti Bramantya dengan maskawinnya yang tersebut tunai."

Hanya dengan satu tarikan napas Panji mantap mengucap ijab di depan penghulu. Kalimat sakral yang melemparnya ke dalam status sebagai suami. Momen seperti ini memang telah lama dinantikannya, tentu saja dengan Hayu, sang pujaan hati. Namun takdir merenggutnya paksa, yang di sampingnya bukanlah Hayu melainkan gadis lain, yang sudah Panji anggap adik kandung sendiri.

Siang itu, saat Panji akan membicarakan hajat besarnya untuk meminang Hayu, malah berakhir dengan keputusan lain. Belum sempat Panji menyuarakan isi hatinya, kedua orang tuanya lebih dulu memintanya menikahi Dian.

Ya, Dian. Bagai tersambar petir di siang bolong. Panji hanya bisa terdiam, pikirannya kosong dan linglung. Posisinya kini seperti memakan buah simalakama. Jika ia menolak permintaan orang tuanya, jelas ia akan merasa durhaka. Tetapi jika tidak, bagaimana kelak nasib cintanya?

Ya Tuhan, apalah daya Panji. Dibesarkan oleh kedua orang tua angkat, lengkap dengan kasih sayang dan materi berlimpah. Yang telah mengangkat derajatnya, menuntaskan pendidikannya hingga Panji bisa seperti sekarang ini. Lalu, setelah semua itu ia dapat dengan cara cuma-cuma, betapa taktahu diri jika harus menentang permintaan orang tuanya.

Dan inilah akhir dari ketidakberdayaan seorang Setya Panji Indrabayu.

Panji sempat bertanya-tanya dalam diam. Bagaimana kelak hidupnya setelah menikah? Sumpah. Di benaknya tak sedikitpun terlintas bayangan menikahi adiknya sendiri. Benar-benar konyol, pikir Panji kala itu.

Panji sangat menyayangi Dian. Dian adik yang sangat manis, meskipun agak manja. Dari situlah Panji yakin Dian akan menolak perjodohan ini. Mengingat adiknya masih belia dan baru masuk kuliah tahun pertama. Namun tak disangka-sangka, Dian justru menerimanya.

Panji tak bisa berkutik. Panji tak lagi bisa menghindar. Jika adiknya saja setuju, sudah pasti pernikahan ini akan terjadi.

Berbeda dengan Panji yang tampak kacau dan frustasi, Dian justru lebih banyak menebar senyum bahagia.

Acara sakral yang tak begitu ramai. Selain hanya mengundang sanak famili dan rekan kerjanya saja, kedua orang tuanya memang menghendaki semua serba tertutup.

Kini, satu persatu tamu undangan menghampiri sang mempelai, memberikan selamat dan harapan untuk kebaikan keduanya.

"Selamat, Bos!" Itu suara Akbar, junior Panji saat masih kuliah. Dan kini menjadi salah satu bawahannya di kantor. "Aku ada tips biar cepet jadi Bos. Bos bisa berguru gratis padaku."

Timpukan langsung melayang di kepala laki-laki itu. "Aku nggak butuh tips darimu."

"Cak, baarakallahu lakuma. Semoga langgeng sampai maut memisahkan." Selanjutnya, salah satu teman akrabnya secara bergantian merapalkan doa. Panji hanya mengangguk sambil tersenyum. Bukankah aneh bila ia harus mengaminkan doa yang tidak menjadi harapannya?

Setelah acara usai, Panji mengajak Dian pulang ke rumahnya sendiri. Rumah yang sudah ia persiapkan untuk menyambut pernikahannya dengan Hayu. Lagi-lagi Panji hanya bisa menekan dadanya yang terasa sesak saat mengingat keadaan wanita yang masih sangat dicintainya itu. Pasti sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Saat Panji memasuki kamar utama, tampak Dian sudah lebih segar dengan piyama tidur. Panji tersenyum sejenak pada Dian sebelum melangkah masuk kamar mandi. Menurutnya, malam ini Dian agak aneh. Tadi Dian sempat menjatuhkan sisirnya saat Panji masuk. Seperti sedang salah tingkah, dan senyum Dian yang tampak malu-malu. Aneh bukan? Kenapa harus salah tingkah?

"Kamu tadi nggak berendam Di?" tanya Panji, saat ia baru saja keluar dari kamar mandiri, dan membuka laci pakaian dalam.

"Mas udah aku siapin gantinya."

"Oh." Panji melangkah ke arah ranjang dan mengambil baju ganti yang sudah disiapkan Dian. "Kamu tadi nggak berendam?" ulangnya.

"Nggak."

"Pantes cepet amat mandinya."

Usai berganti pakaian di kamar mandi, Panji dibuat tertegun oleh pemandangan yang kini berada di depan matanya. Dian duduk menghadap cermin dengan rambut panjang yang tergerai. Pakaian yang tadi Dian kenakan telah berubah. Entah apa nama pakaian yang menempel ditubuhnya kini. Yang pasti pakaian itu bukanlah pakaian yang layak untuk diperlihatkan pada setiap orang. Silakan kalian artikan sendiri.

Panji pria normal. Tapi memiliki nafsu pada adik sendiri rasanya mustahil. Mereka sudah hidup bersama belasan tahun. Polah tingkah Dian seperti apapun Panji sudah sangat hafal. Ia sudah sering melihat Dian berpakaian terbuka selama ini. Jadi, maaf saja bila Panji sama sekali tak tergoda.

"Tidurlah, kamu pasti capek." Tanpa menunggu jawaban dari Dian, Panji terus melangkah meninggalkan kamar menuju ruang kerjanya. Tempatnya menghabiskan waktu semalaman untuk mengunci diri.

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang