Dian menatap sedih hasil masakannya yang telah selesai ia hidangkan satu jam yang lalu. Ditemani Yuli, asisten rumah tangga untuk menyiapkan semua ini. Akan tetapi, sudah hampir jam delapan malam tak ada tanda-tanda manusia yang ditungguinya akan pulang ke rumah. Pesan WhatsApp yang dikirim Dian tak dibalas. Membuatnya semakin bertambah resah dan kecewa.
Tak lama, akhirnya ia mendengar bunyi klakson dan deru mobil memasuki pelataran rumah. Bergegas perempuan itu membenarkan piyama dan tatanan rambut yang sedikit berantakan akibat bosan menunggu. Memastikan wajahnya kembali segar di depan cermin wastafel sebelum berlari ke depan menyambut seseorang di sana.
"Maaf, Di ... jalanan macet," lapor Setya begitu melihatnya mendekat.
Dian tersenyum dan mengangguk. Meraih salah satu tangan lelaki itu dan diciumnya sopan. Setya turut membalas dengan mengecup kening sang istri.
It's okay! Ini merupakan momen dan tindakan yang sangat manis. Jadi, jangan salahkan Dian bila keharuan langsung menghunjami benaknya.
"Mau mandi dulu, Mas? Aku siapin baju gantinya ya?" Dian menyamai langkah lelaki itu.
"Nggak usah. Tadi aku udah mandi." Tolak Setya seraya melempar tatap lunak.
"Kalo gitu kita langsung makan aja?" Tawar Dian lebih lanjut.
Lelaki itu mengangguk setuju. "Boleh. Kebetulan Mas emang udah laper banget."
Dengan cekatan Dian mengambil piring, menuangkan nasi, sayur dan lauk, lalu diletakkan di hadapan lelaki itu. Hal yang sama Dian lakukan untuk porsinya sendiri. Lantas keduanya bersamaan menyantap makan malamnya.
Lima belas menit berlalu Setya meletakkan sendok pada piringnya yang telah kosong sembari berucap, "Enak banget. Kenyang, alhamdulillah."
Dian bergerak membereskan piring kotor, dan langsung mencucinya.
"Aku bantuin!" Ujar lelaki itu tiba-tiba saja sudah berada di sebelahnya.
Dian sedikit kaget. Paham jika kakak lelaki yang kini telah berubah status menjadi suaminya ini jarang sekali menyatroni dapur, apalagi untuk urusan mencuci piring.
Setya mengambil alih piring yang sudah selesai dibilas untuk diletakkan di rak stenlis sebelum dilap dengan kain dan dimasukkan ke dalam lemari.
Setelah selesai mereka sama-sama mengeringkan tangan dengan Hand Dryer. Lelaki itu berada di posisi sangat dekat dengan Dian. Sampai-sampai Dian bisa melihat jelas paras maskulinnya dengan rahang ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Reflek Dian memalingkan wajah saat tatapan mereka bertemu.
"Mau cheese cake?" tawarnya menghindar, melangkah ke arah lemari es.
"Keju? Nggak deh, kalorinya berapa itu?" Beo Setya.
Dian tertawa. Menggagalkan niatnya mengambil camilan penutup. Lebih dari 20 tahun menjadi adiknya, Dian sangat mengenal Setya yang selalu menjaga badan.
"Padahal hanya camilan."
"Aku nggak ada waktu kardio sore ini, Di. Badan udah loyo banget sekarang."
Dian mengibas. "Nggak usahlah bahas begituan setelah makan, Mas! Nanti aku jadi males masak."
"Eh, alat treadmill Mas udah nyampe belum?" Setya seolah teringat sesuatu.
"Yang diterima Pak Seno kemarin bukan?" Dian menyebutkan nama Satpam rumahnya.
"Oh, udah diterima Seno? Biar aku cek." Putus lelaki itu.
"Mas, bentar!" tahan Dian, mengurungkan langkah Setya yang hendak meninggalkan dapur. "Ada yang mau aku tanyakan. Kemarin aku baru sempat keliling sama Talia. Ini rumah dulunya pesenan klien apa gimana sih? Kok ada ruangan praktiknya di dekat gazebo."
Untuk beberapa detik Setya terdiam, sebelum menarik lengan Dian untuk duduk kembali di kursi meja makan. "Ayo kita duduk dulu, Mas akan ceritakan semuanya." Katanya kalem.
Firasat kurang enak tiba-tiba saja merasuki perasaan Dian.
"Memang rumah ini dulunya Mas persiapkan untuk hadiah pernikahan dengan Hayu."
Dian mengerjap. Prasangkanya tepat sasaran. Tapi mendengarnya secara langsung tetap saja melukai hatinya. Apalagi saat mengingat cara Setya berkata dengan tanpa beban.
"Kamu tahu kan, kalau Mas dekat dengan Hayu? Mas sama Hayu itu berhubungan, Di. Sudah jalan lima tahun lebih. Dan rencananya setelah dia menyelesaikan program spesialis, Mas akan melamarnya. Saat itu, Mas sudah akan memberitahu Mama Papa, tapi niat Mas gagal sama permintaan Papa. Mas nggak bisa nolak Papa, Di. Kamu tahu sendiri seperti apa Mas berhadapan dengan Papa. Dan satu-satunya harapan Mas saat itu adalah kamu."
Dian kaget. Luka hatinya bertambah banyak mendapati kenyataan ini.
"Coba kamu pikir, apa yang bisa kita nikmati dari hubungan seperti ini? Kita sudah hidup bersama lebih dari 20 tahun sebagai kakak beradik. Mas nggak mungkin jadi suamimu. Dan kamu nggak mungkin jadi istri Mas. Kita nggak mungkin jadi suami istri. Kamu pasti paham kan sejatinya suami istri itu harus ngapain?"
Dian masih terdiam. Suaranya seolah menghilang bak ditelan bumi. Ia terlalu syok, tak menyangka akan menghadapi kenyataan sedemikian pelik.
"Tapi sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Sekarang yang harus kita pikirkan, gimana caranya ngasih tahu Mama Papa."
Dian tersentak. Selain kaget dengan pengakuan tersebut, teka teki lain akan pernyataan Setya barusan memenuhi kepalanya.
"Nggak sekarang sih. Mas juga belum siap." Lanjut lelaki itu.
Dian menggeleng, mencoba mengembalikan fokus matanya yang sempat linglung akibat hantaman fakta dadakan ini. "Maksudnya bagaimana, Mas? Kenapa Mama Papa harus tahu? Hubungan kalian kan udah berakhir."
Secepat letusan senapan, tatapan mereka segera bertemu. Setya tampak terkesiap dengan vonis tersebut.
"Atau jangan bilang kalian masih berhubungan sampai sekarang? Dan beberapa hari Mas Setya nginap di panti untuk bertemu dengannya?"
Lelaki itu meloloskan napas gusar, tampak sangat frustasi. "Kita kakak beradik. Kamu dan Mas, kakak adik. Pernah nggak sekali saja kamu berpikir ini sangat aneh?"
"Kenapa harus ngerasa aneh, toh faktanya kita bukan mahram."
"Ya Allah!" Setya menggeleng seakan tak percaya Dian bisa berkata seperti itu.
"Nggak usah cari-cari alasan untuk melarikan diri dari kesalahan yang udah kamu buat sendiri, Mas!" Suara Dian naik satu oktaf. "Pernah nggak Mas mikirin gimana perasaanku? Nasibku?"
"Tenang dulu ...." Lelaki itu berusaha merengkuh tangan Dian.
Namun Dian menepisnya. "Nggak!"
"Jangan teriak-teriak. Kita bisa omongin ini baik-baik, Di!"
"Aku nggak bisa, Mas! Tadinya aku sempat salut sama kejujuranmu. Aku akan memaafkan dan melupakan maksud kamu membangun rumah ini. Kamu bisa merenovasinya ulang seperti yang aku mau. Tapi ...." Dian terengah. Air matanya sudah meluncur deras. Ditundukkan kepalanya seraya menggeleng pelan. Sakit sekali hati Dian. "Pokoknya aku nggak mau bahas ini lagi!"
Dian buru-buru berbalik dan pergi secepat kilat dari hadapan lelaki itu. Sebelum Setya mengeluarkan banyak fakta yang bisa mencabik-cabik hatinya semakin parah. Selama ini Dian sangat menyayangi kakak lelakinya. Ia bergantung dengan lelaki itu. Makhluk adam urutan kedua setelah Ayahnya yang ia percayai. Seorang lelaki yang membuatnya nyaman dengan perasaan yang berbeda, bukan lagi sebagai seorang kakak. Tapi ironisnya justru lelaki itu mendorongnya ke jurang nestapa yang maha dahsyat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)
Roman d'amourDian sangat mencintai suaminya. Meskipun suami sekaligus pria yang dulu pernah menjadi kakak angkatnya itu telah menjatuhkan hatinya pada wanita lain. Jika bisa memilih, lebih baik Setya memilih kekasihnya, daripada terikat dengan gadis yang sudah...