Wajah Prisca masih terlihat sedikit pucat, namun ia berusaha tetap tegar ketika berhadapan dengan Pelatih Dro "Ha-halo...", sapa Prisca terbata-bata. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat sosok Prisca yang biasanya dikenal dengan sifat riang dan hebohnya berubah pucat dan gugup layaknya seorang pengecut. "Nama saya Agatha Priscilla Bernadeta. Anda bisa memanggil saya..."
"Prisca", sambung pelatih Dro. Semua orang terkejut mendengar pelatih menyebut nama Prisca sebelum Prisca menyelesaikan kalimatnya. "Ya. Anda bisa memanggil saya Prisca", jawab Prisca dengan tersenyum kaku. Pelatih Dro tersenyum kecil sesaat setelah Prisca menyelesaikan perkenalannya. "Ok, Prisca", kata Pelatih Dro. "Saya yakin kamu telah membaca seluruh cerita dalam naskah ini", sambungnya dengan mantap. Prisca tak menjawab, ia hanya mengangguk pelan membenarkan keyakinan sang pelatih.
"Bisa kamu katakan pendapat kamu tentang cerita ini?", sama seperti yang lainnya, Prisca pun tak luput dari pertanyaan ini. Sepertinya ini merupakan pertanyaan wajib dari Pelatih Dro untuk memastikan seberapa besar minat peserta terhadap audisi yang diikuti.
"Menurut saya...", Prisca berhenti sejenak seolah ragu untuk mengungkapkan pendapatnya, namun tak lama kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan lebih yakin. "Menurut saya cerita ini buruk", ucap Prisca yang langsung mengejutkan semua orang yang ada disana, kecuali satu nama, yaitu Pelatih Dro. Sang pelatih sama sekali tak mengubah ekspresi wajahnya ketika mendengar jawaban Prisca yang sungguh lancang dimata teman-temannya yang lain. "Kenapa?", tanya Pelatih Dro masih dengan tatapan mata yang sama.
"Penghinaan...", Prisca mulai menjelaskan alasan dari penilaiannya terhadap naskah yang telah ia baca. Sedangkan seluruh mata yang ada di ruangan itu terus memperhatikannya dengan tajam. Namun, Prisca tak tergoyahkan. Matanya sendiri pun hanya memandang pada satu sosok, sang penulis naskah yang duduk di hadapannya. "Kebencian...", Prisca terus melanjutkan kata-katanya. "Rasa takut, amarah, dendam, penyesalan... tidak ada satupun perasaan bahagia yang tergambar dari cerita ini", kata Prisca dengan lugas. "Ketidakadilan dan rasa sakit yang ditanggung oleh tokoh utama, Sri selama bertahun-tahun tanpa ada yang tahu kebenaran yang sesungguhnya membuat saya marah ketika membacanya. Menurut saya ini bukan cerita yang bagus. Ini cerita yang sangat jahat. Cerita seperti ini seharusnya tidak dibuat", ungkap Prisca panjang lebar, namun kata-katanya barusan mampu membuat seluruh manusia yang mendengar merasa tertegun. Pelatih Dro menegakkan posisi duduknya sambil tersenyum. Walaupun kata-kata Prisca terdengar seperti penghinaan, tetapi wajah sang pelatih menunjukkan arti yang berbeda. "Baiklah. Lalu tokoh mana yang ingin kamu perankan dalam cerita ini?", tanya pelatih Dro.
"Saya akan memerankan tokoh Nyonya Betty, yaitu orang jahat yang berencana membunuh Sri", jelas Prisca dengan perasaan lebih tenang. Namun, pernyataannya membuat yang lain sedikit terkejut. Bagaimana bisa ia memilih peran antagonis jika ia sendiri berkata bahwa ia membenci ketidakadilan yang diterima oleh Sri, si pemeran utama.
"Wow, tokoh antagonis? Apa kamu yakin? Bukannya kamu bilang cerita ini adalah cerita yang buruk karena penuh ketidakadilan dan kejahatan?", tanya Pelatih Dro seraya mewakili rasa penasaran semua orang yang ada disana.
"Benar", jawab Prisca mantap.
"Lalu?", tanya Pelatih Dro mulai penasaran.
"Sebenarnya yang paling membuat saya marah saat membaca cerita ini bukan karena ketidakadilan yang diterima oleh Sri. Tetapi karena si tokoh utama, Sri yang sangat lemah. Karena saya membenci orang lemah", ungkap Prisca. "Seharusnya ketika kita menerima ketidakadilan kita harus berani melawan. Bahkan ketika kita menerima ketidakadilan karena kesalahan kita, tidak seharusnya kita menjadi lemah dan selalu mau menerima perlakuan yang jahat. Dikucilkan dan dibenci", sambung Prisca. Semua mata masih menatapnya dan semua telinga mendengar ucapannya. Namun sepertinya hanya Pelatih Dro yang mengerti maksud dibalik perkataan Prisca barusan. Itu tidak semerta-merta mengenai cerita tentang Sri, melainkan tentang mereka berdua. Pelatih Dro terdiam sejenak seolah berpikir tentang apa yang harus ia katakan pada mantan muridnya itu. "Baiklah", kata Pelatih Dro. "Dilihat dari penjelasanmu sepertinya kamu memang sudah sangat memahami alur ceritanya", lanjutnya dengan sinis. "Hmm... tapi bagaimana ya? Sepertinya peran itu tidak terlalu mendominasi dalam cerita ini. Bagaimana kalau saya menyuruh kamu untuk mengambil peran lain?", kata Pelatih Dro tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School, I'm in Love
Fiksi RemajaKisah romansa remaja. Prisca si gadis ceria yang selalu bertengkar dengan kakak kelasnya, Davis yang telah merusak hubungannya dengan cinta pertamanya, Alex. Dalam perjalanannya yang dilengkapi dengan kisah persahabatan dan mimpi dalam dunia teater...