Hope - 4

435 58 4
                                    

"Setiap orang akan mengalami pedih, dan itu pasti."

¤
¤
¤
¤
¤
¤

Seorang pria menampakkan wajah tampannya pada sebuah gedung yang menjulang tinggi. Disetiap orang berbondong-bondong menjenguk kerabatnya. Dia melangkahkan kakinya menuju lobby utama rumah sakit. Aroma parfum rasa vanilla begitu menarik perhatian para pengunjung. Kaos tipis berwarna hitam dilapisi dengan jaket berbahan kain senada, dan long jeans. Gaya pakaian begitu simple, tapi sukses menarik sekelibat banyak orang yang dilewatinya.

"Noona ... pasien atas nama Chaeyoung ada di kamar nomer berapa, yah?" ucap Jungkook menatap intens sang perawat yang menjaganya. Sang perawat mengalihkan pandangannya pada sebuah kertas penuh goresan tinta.

"Kamar eksklusif pertama." sahut perawat.

Jungkook yang mendengarnya pun, mengerutkan dahinya. Bagaimana mungkin Chaeyoung pindah kamar yang lebih bagus dari sebelumnya. Jungkook bukannya merendahkan diri sahabatnya sendiri, tapi dia tahu sifat sahabatnya itu; tak mau memboroskan uangnya. Namun, kian dirinya tak mempermasalahkan itu. Dia hanya tersenyum menanggapi jawaban sang perawat. Kemudian, melangkahkan kedua kakinya lagi.

Krekk..

Ruangan serba putih tak mendukung peminat. Dekorasi serba putih dengan ruangan cukup luas. Bau khas rumah sakit itu begitu tak mendukung pada indera penciumannya. Didepan netra matanya terlihat seorang gadis tertidur pulas. Derap langkahnya menghampiri gadis seorang. Namun, dia tak bisa menahan kondisi sahabatnya yang terbaring lemah diatas kasur brankar.

"Chae--Chaeyoung ... ak--aku disini." titah Jungkook. Semakin derasnya airmata mengalir pedih, tak kuat menahan rasa rindu. Jungkook rindu dengan tawanya, senyumnya murni dari bibir gadis itu. Dengan spontan dia memegang pipi gembul gadis itu, dan tersenyum menahan airmatanya tak jatuh. Urutan yang berkonstelasi, dia memulainya dengan memegang pipi, sampai tangan gadis itu.

"Chaeyoung aku janji akan selalu ada di dekatmu. I promise." Jungkook menggenggam tangan gadis itu.

Dalam hatinya berkata, chaeyoung i miss you.

¤¤¤

Jennie melangkahkan kakinya mendekati sebuah cafe kecil dipinggir jalan. Ia membuka handphone-nya untuk membuat janji dahulu kepada seseorang. Ia selalu lupa untuk membuat janji untuk bertemu dengannya; sekarang dirinya kesusahan mencari nomer telepon seseorang. Dia membuka layar handphone-nya, tangan lentiknya tak henti men-scroll layarnya.

Srett..

Jennie tersontak memundurkan langkahnya. Mobil bercorak hitam legam didepan netra matanya; lewat sembarangan. Jennie sontak membulatkan kedua matanya; di depannya ada orang yang ia tujui untuk datang. Tak perlu banyak memakan waktu, Jennie melangkahkan kaki jenjangnya mendekati perempuan yang baru saja keluar dari mobilnya. Langkah modis yang berasal dari perempuan didepan sorotan matanya itu, membuat Jennie yang mendekatinya angkuh.

"Jung Yejin ... how are you?" Jennie tersenyum mengawali kalimat sapaannya pada perempuan tak tahu diri itu.

Yejin yang merasa namanya terpanggil, dia menolehkan kepalanya. "Hidupku selalu baik. Tak seperti, orang kumuh yang hidupnya penyakitan." ucapnya angkuh. Yejin yang merasa mengetahui siapa pemanggil namanya.

Jennie mengacuhkan perkataan kotornya tak sesuai faktanya. "Aku tak mau berdebat. Temui aku." kata Jennie meninggalkan Yejin yang mematung menatapnya.

Sett..

Saat tiba, Jennie memberikan perempuan itu surat bercorak putih polos. Yejin membuka sebuah surat bertajuk tulisan stampel rumah sakit. Tangannya dengan acuhnya, membuka namun merobeknya tak sabaran. Jennie yang hanya menatap sabar, berharap keadilan berada didapatkan. Yejin membaca lembaran putih terpenuhi tinta hitam. Dengan mata tajamnya penuh intens; dia meneliti setiap bagian goresan tinta.

Hope Not [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang