"Aku tak tahu bahwa ini takdir atau bukan."
¤
¤
¤
¤
¤
¤Prosa yang selalu dipajang di setiap mading dalam kamar seorang perempuan, kian mengurang. Terutama sebuah kata singkat yang begitu menyakitkan hati baginya. Suara ilusi yang begitu mengiang dari otaknya menyalurkan dari ruangan transfer ke telinganya. Gertakan giginya selalu ia perlihat, ketika menangis. Isakannya mendengung pada tembok berpaut kayu. Gesekan pintu yang menampakkan seorang yang perempuan itu membuatnya kecewa.
"Jen ... mianhae," lirih Chaeyoung yang menghampiri Jennie.
Chaeyoung duduk pada kayu jati yang dibuat semenarik mungkin menjadi tempat nyaman. Tangan lentik itu menyentuh tangan Jennie pelan. Kondisi Jennie semakin mengeluarkan manik airmata yang berharga. Hatinya sesak dan kecewa. Bibir itu kelu bersama dan bergetar.
"Berapa lama aku harus diam?"
Tampaknya Chaeyoung mengetahui sudah berapa lama kesunyian dalam ruangan penuh kekacauan. Dia dalam sepi telah paham hati gadis yang kosong dan berantakan. Ia merasa bersalah padanya. Dentingan jam berpaut pada jam kosong yang berdetak—sudah lewat sejam. Mereka berkelana dalam bibir yang dipaku. Jantung keduanya tak tahu entah kapan terjadi, saat mendengarkan lagu Love Poem dari Artis terkenal di kotanya—mereka meluapkan tangisannya.
Hiks..
Lagu yang bersenandung dari arah luar yang begitu memekik gendang telinganya. Hasrat yang mengikuti kemana hatinya menghayati arti lagunya. "Apa aku harus keluar? Sepertinya, keberadaanku akan semakin menyakiti hatimu saja." Chaeyoung menghapus airmatanya sebelum berkata.
Jennie meneguk ludahnya dan menarik tangan Chaeyoung. "Aku ingin berbicara denganmu. Ku harap tak ada yang kau tutupi sekarang," katanya.
Korona coklat dari kornea yang memberikan pigmen—layaknya serius dalam menatap satu sama lain. Hatinya siap menerima apa yang akan dikatakan dan tanggapan. "Yejin adalah anak pemalu dan sering menjadi korban bullying. Dan, satu-satunya orang yang menjadi kepercayaannya adalah aku. Pasti, dia akan menganggapku pada waktu itu adalah sebuah penyelamat."
"Sahabat?"
"Ulang tahunmu Kim Jennie adalah dimana tepatnya aku dan Yejin meresmikan tanggal sahabat. Butuh waktu cukup lama, sekitar lima tahun. Menurutku itu sangatlah lucu. Kau tahu, waktu itu Jungkook tak tahu ketika diriku telah mempunyai sahabat lain. Seiring berjalannya waktu, aku bilang padanya sebelum dia tahu dari orang lain. Jungkook memakluminya. Aku lega," jelasnya.
Jennie tahu bahwa yang diharapkan oleh perempuan di depannya adalah sebuah maaf. Hatinya mulai terbuka perlahan membaik. Tangannya tersalurkan untuk menghapus bulir bening dari perempuan yang bersikap tegar, namun rapuh dalamnya. "Chaeyoung ... temanmu ini sudah bersinar dalam lubuknya," ucapnya.
Chaeyoung semakin menangis. Hangatnya embun yang mengalir layaknya air terjun deras dari saluran tempatnya. Jennie tersenyum dan memeluknya. Desahan yang tak teratur berupa isakan begitu menggema pada kamar berdominan klasik. Keduanya sama-sama telah cena. Hatinya kian tak berderana setelah melewati prosesnya. Renjana yang menguat kesekian kalinya.
"Ani! Jigeumbuteo dangsin-eun yeong-wonhi nae gajang chinhan chingu-ibnida!"
¤¤¤
"Mana nomernya?"
Jennie begitu excited pada ucapan yang sudah terlewat dari waktunya. Sementara, denting jam tak berpaut pada perempuan yang sedang mengurus beberapa laporan dari kampusnya. Chaeyoung yang sibuk dengan tugasnya dan Jennie di dekatnya hanya memandangnya bersama spekulasi tinggi. Kedua insan yang baru mendapatkan bahagia meruntut. "Tunggulah, sebentar lagi pekerjaanku selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not [✓]
Fanfiction[C O M P L E T E D] #Rank 3 on hopenot (13-09-2020) [Bahasa] "Tak ada lagi harapan, jika takdir tak berpihak." ________ Tak ada kata lagi, yang harus kuucapkan. Tak ada senyuman lagi, yang selalu kuukir setiap hari. Tak ada lagi harapan, untukku pa...