"Sesungguhnya, roda kehidupan berjalan seiring apa yang telah kita perbuat."
¤
¤
¤
¤
¤
¤Yejin baru mengetahuinya, bahwa seorang perempuan yang tengah duduk di dekatnya akan membelanya saat dicelah. Banyaknya orang menghujat baginya, yang dilakukannya hanya meremas secarik kertas yang tertulis tinta 'aku benci'. Dia merasa tak ada hal yang ingin lampiaskan dan katakan pada pemulut pendusta itu. Gadis itu menunduk tak berani menatap langit dan wajah-wajah baru yang murka.
Masa kelam yang pernah terjadi ketika sang gadis menemukan sahabatnya, adalah korban bully. Yejin menaruh pulpennya kian pada meja elastis modern. Ia menatap Chaeyoung sahabatnya yang terdiam memaku menatap papan di depan. Perempuan itu hanya memandangnya tersenyum. Yejin melunturkan lengkungan indah yang terlukis di bibirnya. Nampaknya sederet bangku yang berada di dekatnya—berbisik tentang dirinya. Yejin menahan amarahnya. Bagaimana tidak, sudah setahun dirinya menjadi pembicaraan topik di Universitas.
'Aku tak menyangka anak baru itu masuk dalam perangkap jahat Yejin.'
'Semoga saja Chaeyoung tak apa-apa.'
'Yejin sangat licik sekali dia.'
"Sudahlah kalian, jangan mencaci maki Yejin. Dia tak salah," ujar Chaeyoung memandang sinis ketiga perempuan penggosip. Perempuan pelagak pembela itu tak akan pernah tahu, bahwa apa yang dikatakan para hawa di sana—adalah benar, tapi belum meyakinkan.
Yejin menekan tangannya dan menariknya keluar dari kelas. "Jangan membelaku, Chaeng. Kau akan kena imbasnya." Yejin menghirup pasokan oksigen yang berhembus angin. Ia menunduk setelahnya.
Chaeyoung memeluk gadis bersalah dalam sendu. Ia tahu ketika sang perempuan mengalami masa kesulitannya, semua para hawa yang ada di bumi membutuhkan ketenangan, salah satu caranya adalah pelukan hangat. Chaeyoung tak bisa menjadikan pelukan itu hangat, tapi mungkin keadaan hatinya yang hangat bisa menyatukan tersalurkan. Bagaimana pun juga, gadis itu masih menginginkan Yejin di dekatnya.
Hiks..
Yejin menangis dan di saat itu keduanya sama-sama merasakan buliran bening jatuh tepat pada pipi porselennya. Tak tahu mengapa lengkungan tipis di bibir menerka mereka berdua. Yejin tahu sudah banyak pasokan tangis yang telah ditampung dalam tabung khayalan. Mungkin, sebentar lagi hobinya adalah menangis. Perempuan itu menggenggam tangan Chaeyoung yang berada di sampingnya. Entahlah, Yejin butuh berdekatan.
"Chaeng, mataharimu tak pantas menjadi naif di mata manusia. Apa menurutmu, aku bukanlah matahari apa yang kau maksud? Karena, matahari itu bukanlah naif melainkan menyamankan para manusia. Aku tak pantas," kata Yejin menatap mata coklat perempuan di dekatnya.
Chaeyoung menghapus airmata sahabatnya, sebelum dirinya. "Kau tetap matahariku. Penerang bumi dalam segala hal bersama cahaya yang luar biasa. Walaupun langit tak menyadarinya, aku sang bintang menyadarinya." Ia menganggukkan kepalanya.
"Kaulah yang pantas jadi matahariku. Bukan aku, aku tak pantas mendapat gelar itu. Aku terlalu naif, Chaeng." Yejin menggelengkan kepalanya. Dan sontak memeluk kembali Chaeyoung.
Chaeyoung mengelus punggung gadis yang menangis di pundaknya. Walaupun, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya. "Matahari tanpa kau tahu banyak yang mencelanya, karena teriknya yang memancarkan panasnya, sehingga membuat para manusia mengeluh. Tapi, ia tetap memancarkannya. Karena, itu memang tugasnya. Seorang gadis tak boleh menangis mengeluh, hanya karena dicelah. Tetaplah tangguh. Karena, aku tahu kau tak salah," ucapnya percaya pada hatinya.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" Yejin mengerutkan keningnya dan melepaskan pelukannya.
"Bintang akan selalu yakin pada semua temannya yang baik padanya."
"Kalau apa yang mereka katakan itu benar? Apa bintang akan meninggalkan matahari yang jelas-jelas beda tempat untuk berlabuh?" tanya Yejin.
"Sirius akan membentang langitnya dan membawa matahari dalam pelukan dinginku," jawab Chaeyoung tersenyum.
Yejin memandang sendu. "Jika membentang berarti hancur, dong."
"Biarkanlah kita sama-sama hancur. Daripada menyadari skenario kehidupan sang pencipta langit yang begitu menyakitkan. Karena, kita telah menyatu. Jika, satu tiada—semuanya akan tiada. Layaknya manusia yang membutuhkan manusia lainnya. Seperti kita. Aku membutuhkanmu dan kau juga."
¤¤¤
Jika kita berbalik pada masa kelam gadis kelahiran tahun sembilan tujuh. Kami bisa mengetahui, bagamana tragisnya kehidupan yang dialaminya. Bagaimana ketika bisikan iblis mengikis hatinya yang telah bergundah. Langit maupun alam semesta telah meminta ampun untuk menuntunnya dalam kebaikan. Waktu itu adalah waktu dimana jarum jam berjalan cepat, sehingga kecepatan sang lubuk merah memanas. Pedih, pilu, sakit sama seperti dihantam pisau yang kian ia genggam.
Yejin pada tanggal duapuluh, bulan maret, menghantam anak yang tak berdosa—adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Keadaan yang memabukkan baginya menimpa orang yang ia sayang. Kalian harus tahu, pisau yang tajam namun kecil—bisa mematikan seseorang. Perempuan itu dengan bangganya menancapkan benda tajam yang sudah dilesensikan negara pada anak kecil yang ia sayang, justru sekarang detik dimana nafas terakhirnya.
"Hahhh..."
"Yejin unnie, jangannn!!"
Teriak sang kecil, namun mulutnya sudah berbisa tak ditanggapi. Yejin tak mengerti apa yang telah ia lakukan—ingatlah, dia mabuk berat sekarang. Efek nikotin berserta alkohol volume besar mengakibatkan dirinya lupa diri dan melampiaskan kekesalannya pada orang yang justru ia sayang. Yejin hanya berbicara dalam hatinya dan meminta tolong rasa bersalah. Ayolah, mana ada seorang pembunuh yang menangis tanpa sadar—saat, pisaunya berhasil berdiri tegak memipih pada tangan asing.
"Hiks..."
Keduanya menangis. Yang dibunuh menangis ketika menghembuskan nafas terakhirnya dan anehnya pembunuhnya juga mengeluarkan airmata, kemudian memeluk orang yang dibunuhnya. Perempuan itu sudah terlambat. Jarum jam sudah berjalan maju searah kendaraan datang tanpa permisi. Rasa bersalah itu masih ada di benaknya. Namun, roda kehidupan berputar kembali dan menjatuhkan harga dirinya. Kekasihnya waktu lampau melihat kejadian tragis menimpa kedua orang yang disayangnya. Dan semuanya gadis itu mengetahuinya kesalahpahaman yang terjadi ketidaksengajaan itu—sukses membuatnya dihujat dan ditinggal.
Flashback off
Perempuan yang setia menuliskan kenangan dalam cerita sendirinya dalam laptop kesayangannya. Masa lalunya yang membuahkan kenangan untuk diabadikan—tangannya mahir memainkan keyboard. Tak tahu sampai kapan, gadis itu mengeluarkan buliran bening yang menetes pada pipi pucatnya. Senyuman tipisnya semakin menyakitkan hatinya. Tapi, seorang lelaki yang baru saja lewat dan duduk di depannya—membuyarkan semua apa yang ia pikirkan di masa lalu. Mungkin, ini saatnya dirinya untuk move on. Sebuah kata peninggalan untuk mantan kekasihnya.
"Jungkook! Bantu aku untuk move on padanya," serunya saat memandang lelaki yang menyeruput minuman kalengnya.
Jungkook berdehem pelan. "Hm ... caranya?" tanyanya.
"Maukah kau jadi pacarku?"
"Hahaha, aigoo! Kau lucu sekali," ucapnya tertawa terbahak-bahak.
Yejin menghela napasnya dan menatap datar. "Bantu aku, Kook, untuk melupakannya. Tolong, jadilah kekasihku. Aku tak butuh cinta. Aku hanya butuh kenyamanan bersamamu."
¤¤¤
01-Desember-2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not [✓]
Fanfiction[C O M P L E T E D] #Rank 3 on hopenot (13-09-2020) [Bahasa] "Tak ada lagi harapan, jika takdir tak berpihak." ________ Tak ada kata lagi, yang harus kuucapkan. Tak ada senyuman lagi, yang selalu kuukir setiap hari. Tak ada lagi harapan, untukku pa...