"Aku mulai memahaminya."
.
.
.
.
.
.Jungkook menaruh tas ranselnya pada sofa yang ia tempati. Ia menghirup sepasok oksigen yang diperoleh dari jendela kamarnya. Tangan panjangnya memijat keningnya sebentar. Netranya tak lepas dari kasur penuh berantakan dengan sekelibat barang-barang kegunaannya. Dia berdiri akan beranjak pada balkon yang terletak di depan jendela besarnya. Namun, ada ibunya yang mendahulukan membuka pintu utama kamarnya.
"Jungkook!"
Jungkook tersontak. Dia membalikkan badannya menatap ibunya. "Eomma, ada apa?" tanyanya.
Ibu Jungkook mendekatkan dirinya pada anaknya. Plak! Dia menampar keras anaknya sendiri. Jungkook merasakan betapa pilunya tamparan yang ia rasakan setiap hari, sebelum dirinya beranjak ke jenjang meningkat. Ia merasakan tamparan keras ini dari ibunya sendiri. Dia menatap heran sambil menyentuh pipi mulusnya yang berubah warna. Sedangkan, Ibu Jungkook hanya menatapnya dengan amarah. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Eom--Eomma..."
"Jungkook mana janjimu dulu? Mana janjimu dulu untuk tak mendekati anak pembawa sial itu?" bentak wanita itu dengan kasar. Benar, dia lupa akan anaknya sedang berproses untuk mengembalikan ingatannya.
Jungkook mengernyitkan dahinya. "Janji apa? Jungkook tak ingat." ucapnya lemah.
Wanita tua itu kehilangan kesabarannya. Dia hampir melemparkan kanvas bunga hias di rak belajar. Tapi, dia masih mempunyai hati pada anaknya, sehingga kanvas itu tak melayang mengenainya. Dia hanya bisa mengeluarkan suara bak pengeras suara pada anaknya.
"CHAEYOUNG, KAU MASIH MENDEKATINYA, KAN?"
¤¤¤
Bukan hanya, Jungkook saja. Disisi lain, Chaeyoung juga dimarahi habis-habisan. Kedua insan yang terkena amarah dalam hati yang bergerumuh. Chaeyoung hanyalah pasrah akan kekesalan dari ibunya sendiri. Telinga pucatnya sudah biasa mendengarkan ocehan setiap harinya. Tetapi, yang awalnya dia akan memberi tahu kabar gembira. Kian sudah menjadi kabar dalam diri. Iya katakan saja, dia belum memberi tahu ibunya tentang pekerjaannya sekarang.
Setelah, banyaknya guratan oceh yang dilontarkan kasar dari ibunya sendiri. Dia memilih keluar dari rumah pendiamannya. Kaki melangkah gugup pada sebuah hamparan pantai yang berdominan biru. Dia memandang pekatnya biru bersama angin bagaikan angan berlalu. Tubuhnya menyapa udara dingin yang suhu diatas derajat. Dengan malam penuh kegundahan, ia bisa merasakan badannya merasakan kedinginan yang setimpal dengan hatinya.
Ia menutup kelopak matanya terpikat. Tangannya memeluk tubuh mungilnya sendiri. Merasa suhu malam mulai menusuk pada badannya. Netra coklatnya tak henti menatap sehampar pasir putih tulang. Gadis bersurai hitam legam itu menyadari akan hal sepatah kata dari orang lain yang ada berjarak agak jauh dengannya. Dia sontak menatap seorang yang menatap langit berbiru malam. Hawa sang petang begitu menyapa ke dalam tubuhnya.
"Jungkook..."
Dia bergumam kecil. Tangannya bergusar pada permukaan halus pada pasir itu. Ingin rasanya tubuhnya mengikat menyapa aroma maskulin pria yang ia sebutkan. Gadis berhidung mancung itu bergerilya akan menghampiri pria itu. Tapi, seketika jenjang itu menarik ulur untuk tak menghampirinya. Seorang gadis lain yang mendahulukan dirinya untuk memeluk erat pria itu. Pipi ini sontak basah akan airmatanya meninggalkan jejaknya. Hatinya terasa pilu. Tangan lentiknya menghapus airmata pedih itu.
Jungkook sontak menatap gadis di belakangnya. Dia menatap netra semburat orang lain di dalam gadis itu. "Chaeng..." Dia merancau pelan. Sedangkan, gadis itu yang merasa mendengar perkataannya. Dia bergerumuh dalam dadanya. Tangan lentiknya mencoba mengembalikan kesadaran pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not [✓]
Fanfiction[C O M P L E T E D] #Rank 3 on hopenot (13-09-2020) [Bahasa] "Tak ada lagi harapan, jika takdir tak berpihak." ________ Tak ada kata lagi, yang harus kuucapkan. Tak ada senyuman lagi, yang selalu kuukir setiap hari. Tak ada lagi harapan, untukku pa...