Hope - 6

319 40 9
                                    

"Kegembiraan kian menyapa dari kaki langit."

¤
¤
¤
¤
¤
¤

Yejin mengetikkan kata perkata dalam laptop kesayangannya. Tangan lentiknya mengajaknya bergurau saat kegiatan menulis hari ini yang dilakukannya. Pekerjaan sang mahasiswa yang harus dilaksanakan. Ditemani secangkir kopi susu pesanan handalannya, untuk menetralisirkan rasa stress dikepalanya. Suara ketikan begitu menggema ditelinganya. Sesekali, dirinya menyesap betapa hangat yang memekik tersalur dari kopi tersebut. Ketika, sang rintik hujan membasahi kota Seoul menyalurkan kedinginan. Netranya tak lepas dari sang rintik bagaikan embun yang mencari sarangnya tempat berlabuh.

"Yejin-ah!"

Panggilan dari arah samping. Dia menolehkan kepalanya pada sang pemanggil dirinya. Gadis yang sebaya dengan dirinya, berdiri, tersenyum, melambaikan tangannya. Dia menegapkan badannya dan berdiri menyamakan dengan gadis yang tak kalah jauh postur tinggi dengan dirinya. Senyuman menyungging gadis itu ia terbitkan, ketika netranya menatap dari bawah sampai atas.

"Chaeyoung ... lama sekali kita tak bertemu." katanya.

Chaeyoung—gadis itu menemui sahabat lamanya—oh, lebih tepatnya mantan sahabat lamanya. Meskipun, begitu dia tetap menganggap Yejin sebagai Yejin masa lampau yang selalu bersama canda tawa menemaninya. Kerinduan mengaduk dengan ketakutan bercampur menjadi satu kesatuan. Gadis itu memberanikan dirinya menduduki yang tak seharusnya ia tempati. Tempat duduk bersebrang menemui titik yang tempat untuk mengajak siluet orang bercengkrama.

"Untuk apa kau duduk di sana? Aku tak mengizinkanmu." bentak Yejin menatap sinis.

"Aku, kan, sahabatmu. Jadi, kan, tak apa." ucap Chaeyoung tersenyum pada Yejin.

"Apa kau bilang? Sahabat? Owh ... apa aku tak salah mendengar perkataanmu tadi? Park Chaeyoung, bukankah sudah kau bilang. Aku bukan sahabatmu lagi." bentaknya menggebrak meja polos berbahan kayu jati itu. Yejin menatap gadis di depannya sinis. Keadaan hati kecil tak tersinkron saat bibir berdosa mengucapkan kata kotor. Dia mengalihkan pandangannya.

Sedangkan, hati gadis di depannya merasa pilu akan perkataan menyakitkan. Segaris membentuk goresan menimbulkan kepedihan dihati kecilnya. Bibirnya bungkam. Lidahnya menjadi kelu. Dia sigap menahan buliran bening untuk jatuh menyapa pipi pucat itu. Tangan lentik membeku dari tempatnya. Kaki jenjangnya bergerak untuk berdiri.

"Semudahkah itu kau mengucapkan separuh kata aku bukan sahabatmu lagi? Semudahkah itu JUNG YEJIN? Setelah apa yang dulu kita lakukan bersama-sama tanpa penghalang langit dan bumi?"

Perkataan Chaeyoung menjadi pilu untuk keduanya. Kedua insan tersebut mengingat memori usang yang berharga satu sama lain. Yejin terlihat menahan airmata yang perlahan akan jatuh. Kedua bibir terkatup rapat bak bunga tulip yang baru tumbuh. Sepasang mata bertemu saling mengingat satu sama lain. Sedangkan, Chaeyoung menatap netra hitam pekat dari mantan sahabat lamanya. Dia tak bisa menemukan semburat kerelaan. Keduanya sama-sama merasakan betapa pilunya, setelah mengingat masa lampau. Kedua hati tak menyatu, tapi bisa merasakan denyutan kelu.

Yejin menghembuskan nafasnya, sebelum membereskan barang-barang di meja itu. Namun, Chaeyoung menahan lengan gadis yang fokus dengan barangnya. "Kalau kedatanganku hanya membuat emosimu memuncak. Lebih baiknya, aku saja yang pergi. Kau tetaplah di sini. Lanjutkan bakat menulismu." ucapnya sekaligus pamit. Kaki jenjang gadis itu bergerilya beranjak meninggalkan tempat itu.

Yejin mengernyitkan keningnya tentang perkataan Chaeyoung. Dibalik pekerjaan dari dosen yang dia harus kerjakan, ada bakat terpendam darinya. Menulis. Hobi yang dia minat dirinya sejak kecil, namun tak bisa dirinya raih. Mengapa Chaeyoung bisa tahu bahwa dirinya menulis saat ini? Ikatan batinkah. Pikirnya. Dia membenarkan barang-barangnya yang sedari dibereskan.

Hope Not [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang