"Ini bukan titik terakhir untukmu."
¤
¤
¤
¤
¤
¤"IBU!!! BANGUUN!!!"
Teriakan dari seorang anak yang memeluk kain putih yang menutupi wajah sang ibunya. Tak tahu berapa pasokan tangis yang ia keluarkan demi meluapkan kerinduannya. Baru saja datang seorang perempuan itu mendapatkan rasa kepedihan. Tolong, perempuan itu sekarang—dia tak mau menjadi anak yatim piatu. Chaeyoung tidak mau. Anak gadis tak ingin merasakan kesepihan dan kesakitan. Tidak, dia harus membangunkan ibunya—walaupun, hanya harapan belaka dalam benaknya.
Sementara, Jennie dan Taekyung di belakangnya menangis dan mengelus punggung wanita yang sedang berduka. Mereka kasihan pada seorang gadis yang belum tamat sekolah dan menanggung beban—bisa merasakan kepedihan atas meninggal dunia sang Ibu satu-satunya. Keadaan Chaeyoung tak menerima kenyataan. Dimana harapannya berlabuh. Harapan yang ingin selalu bersama ibunya sampai akhir hayat nanti.
Sudah usai harapan yang berlabuh.
"Eomma ... Chaeyoungie chin-aehaneun Eomma," katanya meringis.
Begitu kenangan yang ia ingat jelas di otaknya. Ia mengingat jelas ketika, ibunya membangunkan dirinya di pagi hari dan bercakap. Oh, perempuan itu sungguh menangis meratapi dirinya yang sebentar lagi—langit memintanya menanggung beban semuanya. Percikan airmatanya menetes tepat pada mayat yang mengatupkan matanya terakhir kalinya di bumi. Jeritan sang gadis terus mengaung mencari penjelasan.
Flashback on
"Chaeng, ayo bangun ini sudah pagi."
Seorang wanita tua itu menggoyangkan tubuh anaknya yang masih terlelap menikmati khayalan indahnya dalam mimpi yang kasat. Tak ada hal yang ia dilakukan selain membangunkan anaknya demi menjunjung tinggi pendidikannya. Sementara, Chaeyoung sudah membuka matanya di pagi hari pada bumi kelahirannya. "Eomma, anakmu ini mungkin akan mati. Karena, menikmati tidurnya yang nyenyak," ujarnya.
"Haish! Jangan bilang seperti itu. Memangnya, kau mau mati dalam keadaan dosa yang masih membebanimu." Wanita tua itu mengelus puncak rambut anaknya yang mulai duduk bersimpuh.
Chaeyoung menyimpulkan senyuman tipisnya. Ia memegang tangan ibunya dan mengecupnya. "Eomma, janji sama anakmu ini. Kalau Eomma tak akan meninggalkan pelitamu."
Mata nanar dari sang Ibu memberikan isyarat bermakna. "Setiap manusia diciptakan oleh sang pencipta, pasti ada kalanya manis dan pahitnya dalam kehidupan. Dan setiap manusia pasti akan kembali pada sang pencipta untuk mempertanggung-jawabkan perlakuannya yang ada di dunia," jedanya sebentar. "Eomma tak janji untuk selalu selamanya bersamamu, nak."
"Pelitamu akan kehilangan arah, jika tak ada seorang yang dicintainya di dekatnya. Sama seperti burung yang kehilangan arah tak tahu dimana sangkarnya berada," lirihnya.
Flashback off
"Noona, dimohon jangan menghalangi jalan kami." Sang perawat memberikan perintah bagi anak gadis yang menangis merasakan buliran pedih.
Jennie membawa Chaeyoung menghindar dari jasad ibunya yang sebentar lagi akan diantar ke rumahnya. Iya, Jennie meminta jasad Ibu dari sahabatnya diantarkan kediamannya—karena, mungkin gubuknya adalah tempat yang paling nyaman. Lagipula, dirinya telah diizinkan oleh kedua orang tuanya. Sekarang, mereka bertiga; Jennie, Chaeyoung dan Taekyung—berada dalam perjalanan mengikuti arahan ambulance yang berada di depannya.
"Hiks ... hiks ... Eomma,"
Seorang perempuan yang mendekap anak yatim piatu itu juga merasakan berduka cita. Kenangan yang masih tersimpan jelas mengkontaminasi pikirannya. Jennie mengelus rambut hitam legam perlahan dan merasakan tetesan air pilu gadis di sampingnya yang menempel pada bajunya. Sedangkan, Taekyung yang menyetir menghela napasnya—dia juga sedih. Entahlah, betapa banyak orang yang berada di dekat Chaeyoung merasa sedih. Mungkin, banyak yang menyayangi gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not [✓]
Fanfiction[C O M P L E T E D] #Rank 3 on hopenot (13-09-2020) [Bahasa] "Tak ada lagi harapan, jika takdir tak berpihak." ________ Tak ada kata lagi, yang harus kuucapkan. Tak ada senyuman lagi, yang selalu kuukir setiap hari. Tak ada lagi harapan, untukku pa...