07

4.3K 400 14
                                    

Hati-hati typo

*******

Beberapa langkah lagi Gracia akan memasuki rumah kakak iparnya, dia menarik napas. Seharusnya ada Shani disampingnya sekarang untuk meredakan kegugupannya. Selangkah demi selangkah, Gracia sudah melewati daun pintu yang terbuka lebar. Dan, ketika kaki jenjangnya melangkah masuk, tiap pasang mata melihatnya. Gracia hanya tersenyum, sambil berharap ada salah satu keluarga Shani menyapanya lebih dulu.

“Kak Gracia.” Jinan menghampiri Gracia.

“Hai,” balas Gracia dan bersalaman dengan adik bungsu Shani.

“Kak Shani mana?” Jinan melihat ke arah luar, tapi tidak ada siapa-siapa. “Kakak datang sendiri?”

“Hmm, iya. Shani masih dijalan, bentar lagi sampai,” Gracia menjelaskan pada Jinan, seolah-olah dia dan Shani tidak ada apa-apa.

“Papi sama mami udah nungguin dari tadi.” Jinan menggandeng tangan Gracia dan mengajaknya ke ruang utama. “Kak Shani emang suka gitu. Makanya dari dulu nggak ada perempuan yang betah sama dia! Diduain terus sih sama kerjaan.”

Tanpa diberi tau oleh Jinan pun, Gracia sudah merasakannya, dia sudah kenyang dinomorduakan. Shani itu sangat mencintai pekerjaannya melebihi dirinya sendiri. Gracia jadi penasaran sendiri, bagaimana dicintai Shani?
Natio dan Anita duduk bersisian di sofa panjang dan bercakap-cakap dengan beberapa anggota keluarga yang belum Gracia kenal secara dekat. Gracia menyalami mertuanya dan semua orang yang ada di sana.

“Shani ini kelewatan banget sih, Pi. Masa istrinya datang sendirian.” Protes Anita pada suaminya.

“Lagi dimana anak itu?” tanya Natio.

“Lagi survei lokasi, itu juga dadakan,” Gracia membela Shani secara sukarela.

“Telepon kakakmu itu, Jinan! Kalo nggak cepat datang, biar aja nanti istrinya nggak boleh dia bawa pulang.” Anita menyuruh Jinan dan membuat yang lain tertawa, juga Gracia. “Kamu pasti belum makan kan? Makan dulu sana, kalo Shani datang biar Mami yang jewer dia.”

Viny mengantar Gracia ke meja panjang yang berisi beraneka macam makanan. Beberapa sepupu Shani yang baru dilihat Gracia pun menghampiri dan mereka berkenalan. Semua nya menyambut kedatangan Gracia dengan ramah dan Gracia bersyukur untuk itu.

*******

Shani melirik jam tangannya dia sudah tidak sempat pulang ke apartemen. Yang terlintas di pikirannya adalah dia segera sampai ke rumah Viny, masuk Lewat Pintu Belakang dan mengganti baju, untungnyq diq selalu menyimpan kemeja di mobilnya.

Shani meraih ponselnya dan tidak ada pemberitahuan apa-apa disana, Shani merasa sedikit kecewa. Gracia sama sekali tidak membalas pesannya, juga tidak menelepon nya. Apa istrinya itu tidak jadi datang?

Setibanya dirumah Viny, Shani langsung menyerahkan kunci mobil kepada satpam untuk memarkir mobilnya. Shani berjalan melintasi tangga, matanya menyipit ketika melihat Gracia duduk di sofa panjang dan sedang mengobrol bersama sepupunya, Vernando.

Gracia cantik sekali.

Dari kejauhan Shani bisa melihat sorot mata Gracia yang ceria tatkala menanggapi perkataan Vernando. Dan, Shani baru menyadari sorot mata itu tidak pernah diberikan Gracia untuknya. Gracia selalu memandangnya dengan kesal tiap kali mereka berbicara.

*******

“Terakhir aku ketemu kak Naomi, ya, pas wisuda itu. Udah lama banget berarti,” jelas Gracia saat Vernando menanyakan kapan terakhir kali Gracia bertemu Naomi, yang notabene adalah pacarnya.

“Pas Naomi tau Lo nikah sama Shani, dia heboh banget,” cerita Vernando sambil tertawa.

“Heboh kenapa?”

Vernando mendekat dan berbisik, “Akhir tahun ini gue sama Naomi mau nikah. Makanya si Naomi senang, kata nya bisa iparan sama Lo Gre.”

Kontan Gracia mencubit lengan Vernando karena menyindir dirinya terang-terangan. “Malam ini banyak dapet kejutan aku. Pertama, Kakak sepupunya Shani. Kedua, kakak sama Kak Naomi yang udah mantanan terus sekarang mau nikah.” Gracia geleng-geleng.

“Bikin kaget tau kalian, kok bisa sih, kakak nikah sama kak Naomi?”

“Takdir,” jawab Vernando, “Abis putus, gue sama dia bener-bener lost contact. Ketemu baru setahun lalu dan kita coba buat mulai lagi, ternyata cocok. Nah, Lo, gimana bisa nikah sama sepupu gue?”

“Takdir.” Gracia mengikuti jawaban Vernando Sambil tertawa. “Kakak ke mana pas aku nikah, kok nggak datang?”

“Gue lagi ada kerjaan di Kanada padahal gue pengen banget dateng buat ngasih kejutan,” cerita Vernando.

“Kejutannya walau ke pending tapi berhasil kok,” Gracia menimpali itu karena dia memang benar-benar terkejut bisa bertemu Vernando.

vernando tertawa-tawa.

“Lo kuliah di bisnis pusing-pusing kenapa ujung-ujungnya jadi pemain film sih?” protes Vernando.

“Passion, Kak. Aku udah ikutin maunya Papa buat kuliah di jurusan bisnis, gantian dong, dia juga harus ngertiin maunya aku.”

“Untung dapet si Shani lo, ya.”
Gracia hanya senyum-senyum Nggak jelas. Untung ya kata Vernando? Coba Vernando tau yang sebenarnya, pasti laki-laki itu akan mengubah pernyataannya.

Anin menelepon.

“Sebentar ya, Kak, aku angkat telepon dulu.” Gracia pun menjauh ke sudut ruangan yang lebih sepi. Anin ingin memastikan gracia agar tidak terlambat datang, dan dia pun menyanggupinya.
Waktunya dirumah Viny tersisa setengah jam lagi dan Shani entah dimana keberadaannya. Shani...Shani, seneng banget sih mainin hati orang.

“ada apa? Dari Shani?” Vernando menangkap ada sesuatu yang tidak beres.

“setengah jam lagi aku harus cabut ke bandara.”

Vernando melirik jam tangannya. “Gue juga mau jemput si Naomi, pas banget. Kita bareng aja nanti.”

“Eh, nggak apa-apa kak bareng?”
“Kita kan searah. Tapi Lo izin dulu ke Shani, oke?”

Gracia menyetujui ide Vernando. Setidaknya nanti dia tidak perlu mengemis pada Shani untuk mengantarkannya. Gracia masih marah dan dia tidak ingin menyusahkan suaminya.

Keduanya masih seru mengobrol ini-itu sampai sebuah lengan menyentuh pinggang Gracia. “Maaf, aku telat,” bisik Shani dingin lalu pandangannya beralih pada Vernando, “Sorry, gracia gue pinjem bentar.”

“Silahkan, Bro. Gre, nanti kalo udah mau cabut, kasih tau gue. Biar gue siap-siap.”

“Makasih Kak.”

Gracia terlihat kikuk. Tatapan Shani memang selalu dingin tapi kali ini lebih dari biasanya. Ini Shani kenapa sih?
Mereka berhasil berakting layaknya pasangan suami-istri ideal pada umumnya. Gracia menemani Shani untuk mengambil makan malamnya, dan semua dia lakukan tanpa canggung. Kecuali Shani yang selalu saja diam, ketika mereka hanya tinggal berdua.

Sudah jam delapan lebih sepuluh menit, Gracia melirik jam tangannya.

“Aku harus segera pergi,” bisik Gracia pada Shani yang sedang berbincang dengan keluarga yang lain.

Shani mengangguk sekilas. Tangannya menggandeng Gracia, membawa istrinya itu menemui orangtuanya untuk pamit.

“Kita mau kemana?” Gracia pikir setelah pamit, Shani akan melepaskannya. Tetapi lelaki itu malah mengajaknya ke lantai dua. Jangan sampai dia terlambat sampai di bandara.

“Pamit sama Kak Viny dan suaminya. Baru kita pergi.”

Gracia tidak ingin banyak tanya lagi. Hanya menebak-nebak dalam hati saja. Mungkin Shani ingin mereka keluar rumah orangtuanya bersama-sama baru setelah itu berpisah.

“Aku kasih tau kak Ver sebentar, biar dia nunggu didepan.” Gracia berusaha melepaskan genggaman tangan Shani. “Aku mau bareng sama dia,” jelasnya.
“Kamu pergi sama aku.”

“Hah?” jawab Gracia bingung.

“Aku yang antar kamu. Masih kurang jelas?”

“Nggak usah. Aku bareng sama dia aja.” Tolaknya.

Shani berbalik menatap. “Aku mencoba buat bersikap baik sama kamu, tapi sekarang malah kamu yang jual mahal. Jangan buat aku bingung dengan kemauan kamu, Gracia.”

“Apa? Jual mahal kata kamu?” gracia memegang keningnya, kepalanya tiba-tiba pusing. Kenapa jadi Shani yang marah-marah? Harusnya dia kan yang marah! “Bukannya kamu ya, Shan, yang bersikap seenaknya? Baru minta maaf, tapi paginya udah hilang nggak tau kemana?”

Pandangan Shani tak sedetikpun berpaling dari wajah Gracia yang tengah emosi.

“Inikan, acara keluarga kamu. Tapi kamu malah ngebiarin aku datang sendiri. Kamu bikin aku kayak orang bodoh.” Gracia meluapkan kekesalannya, dia benar-benar marah dan tidak berpura-pura.

“Maaf. Ini aku juga nggak tau kalo ini semua di luar rencana!” Suara Shani meninggi.

“Apa susahnya kasih tau rencana kamu ke aku?” Gracia balas menjawab dan berbalik. Dia tidak ingin melanjutkan perbincangannya dengan Shani. Rasanya semua yang dia lakukan hanya buang-buang tenaga saja.

“Aku udah kasih kabar kan, ke kamu! Jangan memperbesar masalah!”

“Iya, kamu emang udah kasih tau ke aku, tapi itu setelah kamu pergi dan aku nggak tau keberadaan kamu! Semua orang tadi tanya kamu dimana? Dan aku Cuma bisa jawab kamu lagi dijalan, jalan yang aku juga nggak tau itu dimana! Aku jadi kayak istri yang bodoh Shan.” Gracia berbalik dan ya, dia harus pergi.

“Kamu pergi sama aku atau semalaman kita tetap disini,” ancam Shani.

Gracia mendesah kesal, dan memberi tatapan membunuh pada Shani. “Aku tinggal teriak! Gampang kan?” tantangnya.

Jam dinding diruang atas menunjukkan angka 20.30. Gracia tidak punya waktu untuk bermain-main dengan Shani. Dia harus segera meninggalkan tempat ini, kalau tidak ingin Anin marah besar padanya. Tanpa memedulikan Shani, Gracia berjalan menuju tangga. Terserah! Gracia tidak mau peduli pada Shani.

Tapi langkah Gracia terhenti, ketika dia mendengar Shani mengeluarkan kalimat yang tak kalah menyakitkan. “Aku nggak suka main kasar sama perempuan, Gracia.”

“Terus tadi itu apa? Kamu ngancem aku. Lupa?” Tantangnya.

Salah satu hal mengerikan bagi Gracia adalah ketika Shani berjalan, mendekati tubuhnya yang berdiri dan Shani menatap matanya dengan wajah yang sulit diartikan.

Shani tersenyum tapi bukan jenis senyum yang diberikannya secara Cuma-Cuma. Ada kilatan kemarahan juga sebuah isyarat bahwa dia yang terlihat lelah. Dan semua tidak berhenti disitu. Telapak tangan Shani menyentuh pipi Gracia sementara tangan yang satunya mengepal keras! Perlahan dengan kesadaran penuh, ibu jari Shani mengusap bibir Gracia yang lembap.

Mata mereka saling menatap. Untuk pertama kali, Shani mengecup bibir Gracia. Terasa asing dan cepat, hingga Gracia merasa kalau ini semua hanyalah mimpi.

*******
Momen greshan banyak ya tadi malem

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang