Hati hati typo
*******
Satu malam terlewati dan Shani masih belum bisa menemukan Gracia. Semalam Shani mendatangi rumah mertuanya, berharap dapat menemukan Gracia disana. Harlan pun seolah satu suara dengan Anin dengan mengatakan tidak tau apa-apa.
“Gracia pasti bisa menjaga dirinya sendiri,” kata Harlan sebelum Shani berpamitan pulang dengan raut wajah yang terlihat letih dan kecewa.
“Saya yang memang brengsek! Saya yang udah buat Gracia pergi,” ucap Shani penuh sesal.
Dan perasaan bersalah itu makin menjadi ketika dia menemukan kotak susu untuk ibu hamil. Susu itu milik Gracia dan dia jadi orang terakhir yang tau. Shani makin menyalahkan dirinya sendiri. Tapi dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa sebelum menemukan Gracia.
“Tolong sampaikan ke Gracia Pa, apapun bakal saya lakukan asalkan Gracia mau kembali pulang.”
Harlan mengangguk dan merasakan sedih dan marah sekaligus atas permasalahan yang menerpa anak dan menantunya.
Dengan tangan kosong, Shani kembali ke apartemennya. Gracia tau banyak tentang dirinya, sementara Shani tidak tau apa-apa. Shani terlalu yakin, Gracia tidak akan pernah meninggalkannya, dan keyakinan itu justru membunuhnya.
“Sudah ada kabar?” saat pintu apartemennya terbuka, Shani langsung menelepon Faris.
“Maaf pak, belum ada yang tau dimana keberadaan Ibu gracia.”
Faris menjawab dengan rasa bersalah. Seharian ini dia sudah mengikuti Anin, sesuai petunjuk dari atasannya itu, bahwa satu-satunya orang yang pasti tau keberadaan Gracia adalah Anin. Namun, perkiraan mereka salah. Anin sama sekali tidak menemui Gracia.
Shani diam sejenak, dia tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya. “Jangan berhenti mencari.”
“Baik Pak. Kami akan berusaha.”
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Shani kembali ke ruang tengah. Semenjak Gracia pergi, dia lebih suka tidur di sofa dan menghabiskan malamnya disana. Sofa bertema shabby chic dengan warna hijau, cat apartemennya yang kata Gracia bernama cotton candy, dan dapur yang dipenuhi dengan peralatan masak, Gracia membuat apartemen Shani penuh warna. Satu hal lagi, yang terlalu banyak sudah diambil Gracia dari dirinya tanpa pernah dia sadari.
Karena semua tentang Gracia masih begitu nyata di apartemennya. Baju-baju Gracia masih tersimpan rapih di lemari, peralatan make up nya juga masih tergeletak di meja rias dan seluruh isi apartemennya semua adalah hasil dari sentuhan tangan Gracia. Dan itu membuat Shani semakin gila.
*******
Saat jam makan siang, Shani mendatangi rumah Anin. Sudah tiga hari semenjak Gracia tidak memberi kabar padanya, dan setiap hari juga Shani datang untuk menemui Anin. Entah itu dirumahnya atau di kantor manajemen. Namun jawaban yang didapat Shani selalu sama.
Shani duduk disofa panjang ruang tamu Anin dan menunggu Anin untuk menemuinya.
“Shani, kalo Lo tiap hari nemuin gue, yang ada nanti disangka nyokap sama bokap gue Lo naksir sama gue!” protes Anin, saat melihat Shani lagi.
“saya bakal terus kesini sampai kamu mau kasih tau dimana Gracia,” sahut Shani dengan penuh tekanan. Shani tidak main-main, selama Gracia belum kembali padanya, Shani tidak akan pernah bosan untuk menemui Anin.
Anin menjatuhkan dirinya disofa. Lama lama dia juga bisa ikutan frustasi kalau begini. “Gue udah sumpah mati buat nggak kasih tau sama siapapun dimana dia.”
“Dia diluar kota?” tebak Shani.
“Nggak tau.”
“Gimana keadaannya? Sehat?”
Sekarang Shani masih ganteng, sih, kayak dulu-dulu, tapi keliatan acak-acakan. Kalau begini sih, pelet cintanya Gracia buat Shani berhasil.
“Kemarin Gracia teleponan sama gue! Dia sehat, terus dia cerita kalo dia ngidam pengen makan beef teriyaki yang pernah dimasakin suaminya! Tapi karna suaminya lagi asik sama perempuan lain, akhirnya Gracia delivery order deh!”
Shani ingat, dia pernah memaksakan beef teriyaki buat Gracia beberapa bulan yang lalu.
“Lo sih, jadi laki-laki brengsek amat. Katanya Cuma temenan, eh malah ciuman! Terus pake acara cium kening segala lagi...” gerutu Anin kesal. “Sakit hati kan, Gracia.”
“Cium kening?” potong Shani cepat. Shani mengernyitkan keningnya dan dia mengingat kapan dia mencium kening Nadse. Dirumah sakit! Jawabnya dalam hati. Itu pun sebagai tanda perpisahan dan Gracia melihatnya.
“Gracia diam-diam ngikutin Lo ke rumah sakit. Dia lihat semuanya dan memutuskan buat pergi.” Akhirnya Anin cerita juga pada Shani.
“Sekarang Gracia pengen sendiri dulu, Shan! Lagi mencoba menata hatinya yang kemaren hancur.”
“Kak Anin...” dari arah dalam rumah, seorang anak perempuan berusia 15 tahun berlari ke ruang tamu sambil membawa handphonenya. “kak Gracia nelepon nih.”
Anin meraihnya dan melirik pada Shani sekilas.
“Boleh saya dengar suara Gracia?” pinta Shani dengan wajah memohon dan berhasil membuat Anin merasa kasihan. Anin pun mengaktifkan mode loud speaker di handphonenya.
“Aninnnn...” teriak Gracia.
“Iya Gre, seneng banget nih kayaknya. Ada apaan?”
“Tadi gue abis dari dokter kandungan, lucu deh Nin, lihat baby nya....kata dokter lagi berenang.”
“Lo ke dokter sama siapa Gre?”
“sendiri lah! Eh tapi dianterin kok sama supir.”
“Sampai kapan kamu mau ngumpet? Shani datengin gue terus tiap hari.”
“Sori ya Nin, jadi nyusahin Lo. Gue belum sanggup buat ketemu Shani. Hati gue masih sakit.”
Handphone dari tangan Anin direbut oleh Shani. Dan...
“Gracia...” terlalu banyak kata yang ingin diucapkan Shani, tapi yang terucap hanya satu kata itu.
Anin melotot, masih kaget dengan tindakan Shani yang tiba-tiba. Tapi akhirnya dia bangkit dari kursinya, meninggalkan Shani untuk berbicara.
“Maaf Shan...” Gracia berusaha menahan air matanya.
“Maaf aku nyerah.”
“Aku yang salah Gracia, bukan kamu. Aku mohon kamu pulang.”
“Kenapa aku harus pulang?”
“Karena aku butuh kamu.” Shani memejamkan matanya, dia mencintai Gracia. Dan tidak ingin kehilangannya lagi.
“Kamu dimana? Aku jemput ya, tolong kasih tau aku.”
Jauh dari tempat Shani dan Anin berada. Gracia menahan napasnya. Shani bilang apa tadi? Membutuhkan dirinya? Berhari-hari disini, Gracia tidak pernah menangisi Shani lagi. Dan kenapa mendengar pengakuan Shani, hatinya terasa sakit. Dan kenapa mendengar pengakuan Shani, hatinya terasa sakit dan setitik air matanya menetes.
“Gracia...”
Tangan kanan Gracia masih memegang handphone sementara tangan kirinya menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
“Nanti aku pulang Shan.... untuk mengurus perceraian kita.” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibir Gracia dan setelah itu dia mematikan handphonenya.
*******
Sebentar lagi cerita ini mendekati akhir guys....
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us
RomanceKamu sekarang mengerti kan? rasanya Shani Indira Natio & Shania Gracia